Kamis, 19 Januari 2012

Hadis Maudhu'


A.           Pendahuluan.

Hadis merupakan sumber kedua hukum Islam setelah Al-quranul karim, Dengan demikian, kedudukannya menjadi sangat penting dalam ajaran Islam, sehingga dalam setiap penetapan atau menguatkan sebuah argumen, baik dalam bidang aqidah, ibadah maupun mu'amalah, hadis selalu diikutsertakan. Selain itu, hadis juga digunakan sebagai penjelas ayat-ayat al-Quran yang global. Tanpa penjelasan hadis, sangat sulit bagi umat Islam untuk bisa melaksanakan ajaran al-Qur'an dengan sempurna yang pada akhirnya syari'ah Islam pun tidak bisa dijalankan dengan baik. Hal ini mendorong berbagai kalangan untuk untuk mengkaji hadis secara lebih mendalam.
Namun perjalanan hadis tidaklah semulus yang diinginkan, apalagi kita ketahui penulisan dan pengkodifikasian Hadis secara resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kesenjangan waktu antara masa hidup Rasulullah Saw dengan masa mulai dibukukannya hadis, tidak dipungkiri, telah memberi celah kepada sebagian orang atau kelompok-kelompok tertentu melakukan pemalsuan terhadap hadis demi kepentingan pibadi atau kelompok serta memenuhi keinginan hawa nafsu mereka.  sebagaimana sehingga banyak muncul hadis-hadis palsu yang mengklaim bersumber dari Rasulullah saw. seperti Kaum syiah yang membuat hadis palsu untuk tujuan poltik pasca carut marutnya situasi politik islam pasca wafatnya Rasulullah.
Dalam kajian ilmu hadis, hadis-hadis palsu ini menjadi bahasan yang sangat penting dengan tujuan agar ummat islam mampu melihat hadis palsu itu sendiri dan apa motivasi yang mendasari mereka membuat hadis palsu tersebut yang berujung melegitimasi suatu pendapat dan berpotensi mengkaburkan pemahaman ummat islam.
Maka Makalah ini akan menguraikan pembahasan yang berkenaan  tentang Hadis palsu dan beberapa kajian yang berkaitan dengannya.



B.      Pengertian Hadis Maudhu’.
Kata maudhu’ berarti adalah ism maf’ul yang menurut bahasa berarti, “meletakkan; menyimpan; mengada-ada atau membuat-buat; dan ditinggalkan,”.[1] Sedangkan menurut Terminologinya, Hadis Maudhu’ didefenisiskan sebagai berikut:
هو الخبر الذى يختلفه الكذابون وينسبونه الى رسول الله صلى الله عليه و سلم افتراء عليه
“Berita yang diciptakan oleh para pendusta dan mereka menisbahkannya atas nama Rasul saw. Menurut sengaja dengan dasar mengada-ada”.

Muhammad ‘Ajjaj memberikan pengertian Hadis Maudhu’:
ما نسب الى رسول الله صلى الله عليه و سلم اختلافا و كذبا مما لم يقله أو يفعله أو يقره
Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Menurut dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan atau menetapkannya.[2]

Dari beberapa pengertian diatas, hadis Maudhu’ merupakan hadis yang paling buruk kualitasnya, karena ia merupakan hadis palsu yang sama sekali tidak ikatakan oleh Nabi, di sisi lain, hadis ini jelas berdampak pada fatal alam agama, dengan memasukkan pernyataan-pernyataan yang tidak diajarkan dalam agama, dia juga meracuni keyakinan dan cara berfikir pemeluknya.
Melihat dampak yang begitu fatal, para ulama mengharamkan periwayatan hadis Maudhu’. Hadis Maudhu’ tidak boleh diriwayatkan oleh siapapun kecuali dengan menjelaskan kepalsuannya. Misalnya dalam nuansa belajar atau satu kajian dengan memberi contoh hadis-hadis palsu, menjelaskan bahaya dan dampaknya dan bukan dengan tujuan untuk diikuti.[3]
Mahmud al-Tahhan mengkategorikan hadits maudhu’ ini kedalam hadits yang mardud (ditolak). Sebab di dalamnya terdapat cacat pada perawinya dalam bentuk membuat kebohongan terhadap Rasul SAW, dan cacat dalam bentuk ini adalah terburuk dalam pandangan ulama’ hadits[4]
Dari defenisi di atas dapat terlihat adanya beberapa kesamaan unsur tentang tanda adanya pemalsuan Hadis, yaitu:
1.      adanya unsur kesengajaan.
2.      ada unsur kebohongan atau ketidaksesuaian dengan fakta.
3.      ada penisbahan kepada Rasulullah saw. berupa ucapan  perbuatan atau pengakuan.

C. Sejarah dan Perkembangan Hadis Maudhu’.
Beberapa pendapat yang berbeda dikalangan ahli hadis mengenai sejak kapan terjadinya pemalsuan hadis. Ada yang berpendapat sejak masa Rasulullah Saw dan Khulafaurrasyidin atau sebelum terjadi konflik antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah, hadis Nabi masih bersih dan murni tidak terjadi pembauran dengan kebohongan dan perubahan-perubahan.
Pendapat ini diutarakan oleh Abdul Wahhab, namun meski demikian, ia juga tidak menolak adanya kemungkinan unsur pemalsuan terhadap Rasulullah Saw. dan ajaran Islam yang dilatari berbagai faktor.[5]
Beberapa faktor yang turut melatari hal tersebut, menurut Abdul Wahab, adalah adanya anggapan bahwa Rasulullah saw. tidak melarang bahkan memberi kesempatan bila dipandang dapat memberikan manfaat positif bagi kemajuan ummat Islam. Pemalsuan tersebut bisa berupa nasehat agama.
Faktor yang lain adalah adanya kecerobohan dalam meriwayatkan Hadis oleh perawi-perawi yang lemah sehingga timbul kesalahan dalam berbagai bentuk. Seperti riwayat yang sebenarnya bukan berasal dari Rasulullah saw, akan tetapi karena kesilapan, riwayat tersebut disandarkan kepada Rasulullah saw.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa pemalsuan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. pendapat ini seperti yang diajukan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin.
Salahuddin al-adabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadis yang sifatnya melakukan kebohongan terhadap Rasulullah saw. dan berhubungan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. yang dilakukan oleh orang-orang munafiq. Sedangkan pemalsuan Hadis yang berkenaan dengan masalah agama belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw.
Alasan yang dikemukakan oleh al-Adabi  adalah Hadis yang diriwayatkan oleh at-Thahawi (w. 321 H) dan at-Tabrani (w. 360 H). Riwayat itu menyatakan bahwa pada masa Rasulullah saw., adalah seseorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Rasulullah saw. orang tersebut mengaku telah diberi kuasa oleh Rasulullah saw. untuk menyelesaikan suatu masalah pada kelompok masyarakat tertentu di sekitar Madinah.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Amin, ia beralasan dengan adanya Hadis Rasulullah saw. yang bisa dimaknai dengan adanya kemungkinan terjadinya pembohongan di zaman Nabi. Hadis yang dimaksud adalah:

و من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.

Hadis ini meskipun dapat dimaknai sebagai bentuk peringatan agar tidak terjadi pembohongan atas nabi, tapi oleh Ahmad Amin, Hadis ini dimaknai telah ada pembohongan pada masa tersebut.[6]
Kedua pendapat tersebut di atas, nampaknya memerlukan pengujian, terutama dari segi historis yang dapat mendukungnya yang juga dapat mencari tahu siapa dan kapan terjadinya pembohongan tersebut. selain dari itu, dari segi matan riwayat yang dikemukakan oleh al-Adabi yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan sahabat beliau untuk membunuh orang yang telah berbohong dan apabila yang ternyata yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. memerintahkan jasad orang tersebut dibakar. Bukankah ini sesuatu yang tidak berguna dan bertentangan dengan ajaran Islam.


Dari segi sanad Hadis yang dipakai oleh al-Adabi telah mendapat penilaian dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang telah mengatakan bahwa ada nama sahabat yang dinilainya tidak sahih. Selain dari itu, riwayat tersebut merupakan riwayat tambahan dari Hadis mutawatir yang dijadikan alasan oleh Ahmad Amin.[7]
Pendapat ketiga adalah pemalsuan menurut kebanyakan ulama. Ajjaj al-Khatib menegaskan bahwa pemalsuan tidak terjadi dari sahabat dan dari para tabi’in besar, dan kalaupun terjadi hanya muncul dari sebagian orang jahil dari kalangan tabiin.[8]
Muhammad bin Iraq al-Kinani[9] mengatakan bahwa pada masa pertengahan masa tabi’in yakni awal abad 11 H, terdapat kelompok yang lemah dan banyak sudah memarfu’kan yang mauquf dan meriwayatkan yang mursal.
Pada masa tabi’in kecil (150 H), muncul kelompok-kelompok politik, unsur-unsur filsafat, keyakinan agama, fanatisme, kebohongan dan kesalahan.[10]
Kebanyakan ulama Hadis berpendapat bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi pertamakalinya setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang kontra dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terpecahnya ummat Islam dan muncul golongan-golongan kelompok agama dan politik yang berbeda. Antar kelompok yang ada saling menguatkan kelompoknya dengan Alquran al-Karim dan sunnah. Tentu saja tidak setiap golongan menguatkan kelompoknya dengan menggunakan Alquran al-Karim dan sunnah, maka sebagian mencoba mentakwilkan Alquran al-Karim dan menafsirkan Hadis dengan cara yang tidak benar.
Ketika sebuah ayat maupun Hadis tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuannya (karena banyaknya orang yang menghafal Alquran al-Karim dan sunnah) maka mereka mencoba berdalih dengan membuat-buat Hadis dan kebohongan atas Rasulullah Saw. Maka muncullah Hadis-Hadis yang berkenaan dengan khalifah yang empat dan pemimpin masing-masing kelompok. Demikian juga halnya dengan aliran-aliran politik, agama dan lainnya.[11]
Awal terjadinya hadis Maudhu’ dalam sejarah muncul setelah terjadi konflik antar elit politik dan antara dua pendukung ali dan muawiyah, ummat islam terpecah menjadi tiga golongan. Yaitu Syiah, khawarij dan jumhur muslimin atau sunni. Masing-masing mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka, masing-masing ingin mempertahankan kelompoknya, dan mencari simpatisan massa yang lebih besar dengan cara mencari dalil dari Alquran dan hadis Rasulullah. Jika tidak didapat ayat atau hadis yang mendukung kelompoknya. Mereka mencoba mentakwilkan dan memberikan interpretasi yang terkadang tidak layak.[12]
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting tentang berkembangnya pemalsuan Hadis:
1.        pemalsuan yang dipandang terjadi pada masa Rasulullah saw. seperti yang dikatakan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin,  tidak didukung dengan fakta yang kuat.
2.        pada masa Rasulullah saw. dan sahabat terdapat pula periwayatan ajaran agama Islam sebagai nasehat yang dilakukan secara cermat yang dimaknai bukan sebagai pemalsuan.
3.        pemalsuan muncul berawal dari kecerobohan oleh perawi-perawi yang lemah dengan cara:
a.         Memarfu’kan Hadis mauquf
b.        Menyambungkan Hadis mursal.
Hal ini terjadi pada pertengahan masa tabi’in yang berlanjut dengan kebohongan dalam mentakwilkan ayat dan Hadis hingga berujung kepada pemalsuan Hadis.
4.        kebanyakan ulama mengindikasikan terjadinya pemalsuan setelah tahun 40 H yang dipicu oleh persoalan politik, filsafat dan faham keagamaan.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, nampaknya yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat yang disebutkan terakhir, yaitu pemalsuan hadits baru muncul setelah sepeninggal Nabi. Hal ini disamping karena begitu kerasnya peringaatn yang diberikan Nabi terhadap mereka yang mencoba-coba untuk melakukan dusta atas nama Beliau yang tercermin dalam sikap hati-hati yang ditampilkan para sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar serta yang lainnya, juga berdasarkan bukti-bukti bahwa pemalsuan hadits baru muncul dan berkembang ketika Ali menjabat sebagai khalifah, dimana pada masa ini pertentangan politik mulai muncul. Konsekuensinya adalah timbulnya perpecahan dan timbulnya kelompok-kelompok seperti syi’ah, khwarij dan lainnya.[13]

D.   Faktor-Faktor yang Melatari Hadis Maudhu’.
Ada beberapa faktor-faktor yang disebut oleh para ahli yang menjadi latar belakang munculnya Hadis maudhu’, di antaranya adalah:
1. Faktor Politik.
Setelah Utsman bin Affan wafat, timbul perpecahan di kalangan ummat Islam dengan lahir pendukung masing-masing kelompok yang berseteru, seperti kelompok pendukung Ali, pendukung Mu’awiyah dan kelompok ketiga yakni Khawarij yang muncul setelah terjadinya perang Shiffin.[14] Dalam sejarah sekte pertama yang menciptakan hadis Maudhu’ adalah Syi’ah. Hal ini diakui oleh orang syiah sendiri, misalnya seperti kata Ibnu Al-Hadid dalam Syarah Najhu Al-Balaghah, bahwa asal-usul kebohongan dalam hadis-hadis tentang keutamaan adalah sekte Syi’ah, mereka membuat beberapa hadis Maudhu’ untuk memusuhi lawan politiknya.
Setelah hal itu diketahui oleh kelompok pendukung Abu Bakr merekapun membalasnya dengan membuat hadis Maudhu’ pula.[15] Maka dari tiga kelompok tersebut diatas, Syi’ahlah yang pertamakali melakukan pemalsuan. Hadis yang dibuat oleh kelompok Syi’ah antara lain:

و صيي و مو ضع سر ي و خليفتي في ا هلي و خير من ا خلف بعد ى علي

Wasiatku, tepat rahasiaku, khalifahku pada keluargaku, dan sebaik orang yang menjadi khalifah sesudahku adalah Ali.
Seandainya itu benar hadits dari Nabi tentu banyak diantara sahabat yang meriwayatkannya, karena masalahnya adalah untuk kepentingan umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam untuk tidak meriwayatkan jika hal itu terjadi benar pada Rasulullah.[16]
Sedangkan Hadis yang dibuat oleh kelompok Mu’awiyah adalah:
ألا صفاء عند الله ثلاثة أنا و جبريل و معاوية
Ingatlah! Yang suci menurut Allah swt. hanya tiga, saya, Jibril dan Mu’awiyah.
Sementara kelompok Khawarij tidak membuat Hadis yang sesuai dengan keyakinan mereka bahwa berbohong adalah dosa besar dan pelaku dosa besar adalah kafir.[17]
2. Faktor Dendam Musuh Islam (Zindiq).
Pasca jatuhnya dua kekuatan super power kerajaan Romawi dan Persia. Islam tersebar keseluruh penjuru dunia, sementara musuh-musuh Islam tidak mampu melawannya secara terang-terangan, maka meraka menyusup dengan meracuni ajaran-ajaran Islam dengan membuat hadis Maudhu’ agar mereka melihat Islam itu menjijikkan.[18] Misalnya apa yang diriwayatkan mereka:
ا ن نفر ا من ا ليهو د ا تو ا ا لرسو ل صل لله عليه و سلم فقا لو ا تحمله ا لهو ا م بقر و نها و ا مجر ة ا لتي في ا لسما ء من عر قهم قا لو ا نشهد ا نك ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم
Bahwa segolongan orang yahudi datang kepada Rasulullah saw bertanya: siapakah yang memikul arsy? Nabi menjawab: yang memikul adalah singa-singadengan tanduknya, sedangkan bimasakti dilangit keringat mereka. Mereka menjawab: kami bersaksi bahwa engkau utusan allah.
Tokoh-tokoh zindiq adalah Muhammad Ibnu Sa’id a-Syami, Abdul Karim ibnu al-Auza’ yang dia akui telah memalsukan sebanyak 4000 Hadis yang berhubungan dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Mereka memalsukan Hadis untuk tujuan mengkaburkan dan menghilangkan kemurnian agama dalam pandangan ahli fikir dan ilmu.
Menurut Hammad Ibnu Zaid, hadis yang dipalsukan oleh kaum Zindiq berjumlah sekitar 12.000 Hadis dan dalam riwayah lain disebutkan mencapai 14.000 Hadis.[19]
3. Faktor Fanatisme.
Pada masa pemerintahan Daulah Umawiyah, sangat meonjol fanatisme arabnya, sehingga nonarab merasa terisolasi dari pemerintahan, maka diantara mereka ada yang ingin posisi mereka diperhitungkan. Mereka membuat hadis yang menyatakan kemuliaan bahasa persi, seperti:
إن كلام الذى حول العرش فارسى
sesungguhnya permbicaraan di sekitar Arsy adalah menggunakan bahasa Persia.

Sementara kelompok yang menantangnya membuat Hadis yang lain seperti:
أبغض كلام عند الله فارسى
Pembicaraan yang paling dibenci oleh Allah swt. adalah bahasa Persia.
4. Faktor Targhib wa Tarhib.
Salah satu tujuan menyampaikan sesuatu melalui cerita adalah bagaimana agar menarik perhatian atau untuk memperindah hal-hal yang tidak semestinya indah agar pendengarnya merasa tertarik. Maksud yang baik yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar dan pengetahuan yang cukup terkadang sering menyesatkan, apalagi yang dibuat tersebut disebarkan pada orang lain.
Hal itu yang terjadi pada sekelompok orang yang menisbatkan dirinya pada kaum sufi, mereka sengaja membuat banyak hadis yang isinya menyentuh hati terkadang dengan maksud baik untuk mengajar orang berbuat kebajikan dan kembali pada jalan yang benar. Hadis-hadis mereka diterima oleh sebagian orang karena sebagian orang tersebut berfikir positif saja dan menganggap benar-benar datang dari Nabi dan didukung oleh prilaku mereka yang terkesan ahli ibadah dan zuhud, dan kenyataannya memang mereka ahli ibadah.[20]

Pemalsuan yang terkait dengan hal tersebut adalah:
من قال لا إله إلا الله  خلق الله من كل كلمة طير  أنقاره من ذهب  و ريشه من مرجان
Barang siapa mengatakan “tiada tuhan selain Allah, maka Allah akan menciptakan dari setiap kata-kata tersebut seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari marjan.[21]
5. Perbedaan pendapat.
Seperti:
كل من  فى السماوات و الأرض  و ما بينهما مخلوق غير القرأن
Setiap sesuatu yang ada di langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya adalah makhluk kecuali Alquran
6. Semangat yang berlebihan untuk berbuat kebaikan yang tidak dilandasi permasalahan agama.
Ada anggapan di kalangan sebagian orang-orang shaleh dan para zahid bahwa untuk tujuan targhib dan tarhib maka pemalsuan dengan tujuan tersebut tidak masuk dalam kategori orang-orang yang dilaknat nabi dalam Hadis “barang siapa berbohong atasku dengan sengaja......”,
7. Untuk mendekatkan diri kepada penguasa.
Semenjak dahulu sampai sekarang, ada saja cara orang untuk mengambil hati sang penguasa dengan tujuan tertentu, baik berupa penghargaan maupun simpati. Maka salah satu yang melatar belakangi pembuatan hadis palsu oleh pemalsu hadis adalah untuk mengambil mendapatkan simpati dari khalifah atau pejabat pemerintahan yang berkuasa pada ketika itu.
Ghayyas bin Ibrahim telah membuat kebohongan melalui Hadis ketika ia memasuki istana al-Mahdi. Pada saat itu ia melihat al-Mahdi sedang mengadu burung merpati, maka ia mengucapkan memalsukan sebuah Hadis dengan menambahi matannya.[22]
Selain dari hal-hal tersebut di atas, masih ada beberapa sebab lain yang mendorong munculnya pemalsuan, seperti demi memuji sebuah usaha atau pekerjaan tertentu.

E.   Ciri-Ciri Hadis Maudhu’
a. Ciri-Ciri Pada Sanad.
1. Berdasarkan pengakuan dari orang yang memalsukan Hadis.
Terdapat beberapa nama pemalsu Hadis yang mengakui perbuatannya, di antaranya adalah Abu Isma Nuh ibnu Abi Maryam tentang keutamaan surat-surat Alquran al-Karim. Abu Karim al-Auza’ yang memalsukan Hadis halal-haram.[23] Begitu juga dengan Abu Yazis yang mengaku telah memalsukan Hadis dan menyatakan bertobat dan minta ampun.[24]
2. Tanda-tanda yang bermakna pengakuan.
Misalnya seorang rawi yang mengaku menerima Hadis dari seorang guru padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia mengatakan menerima Hadis dari seorang guru, padahal guru tersebut telah meninggal dunia sebelum ia lahir, seperti Ma’mun Ibnu Ahmad al-Saramiy yang mengatakan kepada Ibnu Hibban bahwa ia pernah mendengar Hadis dari Hisyam dan Hammar, Ibnu Hibbanpun bertanya kapan ia ke Syam,yang dijawab oleh Ma’mun Ibnu Ahmad al-Sarami bahwa ia ke Syam pada tahun 250 H. , padahal Hisyam meninggal dunia pada tahun 254 H.
3.      terkesan dibuat-buat berdasarkan kejadiannya.
b. Ciri-Ciri Pada Matan.
Menelusuri pemalsuan Hadis secara akurat melalui matannya dapat dilakukan dengan menganalisa matan tersebut. Unsur-unsur yang sering terdapat pada matan Hadis maudhu’ adalah:
1.      kelemahan atau kerancuan lafal Hadis dan maknanya.
2.      kerusakan makna hingga tidak dapat diterima oleh indera.
3.      mentolerir perbuatan dan dorongan syahwat.
4.      terdapat fakta yang bertentangan dengan isi Hadis tersebut.
5.      hal-hal atau berita yang tidak masuk akal.
6.      bertentangan dengan nash Alquran al-Karim.
7.      bertentangan dengan Hadis mutawatir
F. Penanggulangan Hadits Maudhu’
Untuk menyelamatkan hadits Nabi SAW ditengah-tengah gencarnya pembuatan hadits palsu, para ulama’ membuat usaha-usaha untuk membendung hal tersebut menurut Zeid B. Smeer adalah Pertama, dengan keharusan mencantumkan sanad dalam tiap periwayatan, Kedua, Dengan menginventarisir hadis-hais palsu dan mengklasifikasikannya dalam buku tersendiri agar mudah diketahui dan tidak bercampur dengan hadis yang sebenarnya. Ketiga, Dengan adanya klasifikasi kualitas hadis mulai yang tertinggi hingga yang terendah, serta criteria yang digunakan untuk menentukan hal tersebut sampai pada kodifikasi hadis tidak lain merupakan buah dari usaha mereka sendiri.[25] Selain itu para pakar juga hadits menyusun berbagai kaidah penelitian hadits.
Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
  1. Meneliti sistem penyandaran hadits
  2. Memilih perawi-perawi hadits yang terpercaya
  3. Studi kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasikan pada sifat kejujuran atau kebohongannya
  4. Menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut.[26]
Dengan berbagai kaidah mengakibatkan ruang gerak para pembuat hadits palsu menjadi sangat sempit.  Selain itu, hadits-hadits yang berkembang dimasyarakat dan termaktub dalam kitab-kitab dapat diteliti dan diketahui kualitasnya. Dengan menggunakan berbagai kaidah, ulama’ telah berhasil menghimpun berbagai hadits dalam kitab-kitab khusus seperti: al Maudhu al Kubra, karangan Abu al Fari Abd al Rahman bin al Jauzi (508-597)


G.      Penutup.
Hadis Maudhu’ adalah Hadis yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah saw. ada beberapa faktor, sebab dan tujuan yang mendorong seseorang memalsukan Hadis, seperti Pertentangan politik, Usaha kaum zindik, Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa dan Pimpinan, Mempengaruhi kaum Awam dengan kisah dan nasihat, Perselisihan madzhab dan ilmu kalam, Membangkitkan gairah beribadat, tanpa mengerti apa yang dilakukan,
Adapun cara mengetahui hadits maudhu’ dengan memperhatikan antara lain:
  1. Berdasarkan pengakuan para pembuatnya;
  2. Makna atau lafalnya rusak;
  3. Matannya bertentangan dengan alquran, hadis mutawatir, hadis shahih, dan hal-hal yang mudah dipahami dalam agama;
  4. Matannya bertentangan dengan akal sehat manusia;
  5. Matannnya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil;
  6. Perawinya diketahui sebagai seorang pendusta, dan hadis yang diriwayatkannya tidak diriwayatkan oleh para perawi terpercaya;
  7. Ditemukan indikasi bahwa perawi itu memalsukan hadis, misalnay seorang Syi’ah Rafidhah meriwayatkan hadis tentang ahlu al-bait.[27]
Sedangkan penanggulangannya dapat dilakukan dengan cara menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits tersebut, dengan penjelasan di atas setidaknya kita dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan ke maudhu’an sebuah hadits, dan itu akan membuat kita lebih hati-hati dalam mengambil hadits untuk kita jadikan sebagai pegangan hidup.
Berkembangnya ilmu yang mengkaji tentang hadis sangat membantu dalam memelihara kemurnian hadis rasulullah saw, walaupun masih ada yang berkembang aliran tertentu yan masih meamaki hadis-hadis yang diragukan keshahihannya, ilmu musthalah hadis, al-Jarh wa al-Ta'dil dan cabang ilmu hadis lainnya akan dapat membendung dari potensi tersebut diatas.

REFERENSI

Fathurrahman, Ikhtisar Mushtalah Hadis . Bandung: al-Ma’arif, 1970.
Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 1966.
___________, as-Sunnah Qabla at-Tadwin. Damasqus: Dar al-Fikr, 1981.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2009
Kinani, Tanzih asy-Syari’at al-Marfu’at, jil. I. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1981.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar Masyriq, 1986.
Nor Ichwan, Mohammad, Studi Ilmu Hadits, Semarang:Rasail Media Group, 2007
Shidqie, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Smeer, B. Zeid, Ulumul Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2008
Suparta,Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003
Thahhan, Mahmud, Taisir Mushtalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.
Wahid, Ramli Abdul, Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Hadis, ed. Sulidar, Medan: Perdana Mulya Sarana, 2011
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2002
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis. Jakarta: Mutia Sumber Widya, 2001.









[1] Ramli Abdul Wahid, Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis. Editor: Suildar. Medan: Perdana Mulya Sarana, 2011. h. 126
[2]Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1966), h 415.
[3] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, h. 72
[4] Mohammad  Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits, Semarang: Rasail Media Group, 2007, hlm. 152
[5] Al-Kinani, Tanzih asy-Syari’at al-Marfu’at, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1981, jil. I h. i.
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis Jakarta: Mutia Sumber Widya, 2001, h. 302.
[7] Ibid. h. 303.
[8] Ajjaj al-Khatib, Ushul, h. 417.
[9] Al-Kinani, Tanzih.
[10] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 33.
[11] Ajjaj al-Khatib,Ushul, h. 416.
[12] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Bumi Aksara, 2010. h. 200
[13] Mohammad  Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits, h. 152
[14] Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla at-Tadwin (Damasqus: Dar al-Fikr, 1981), h. 193.
[15] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis.  h. 201 
[16] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2009, h. 208-213
[17] Ajjaj al-Khatib, Ushul, h. 421.
[18] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 203
[19] Nawir Yuslem, ulumul Hadis, h. 308

[21] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, h. 77
[22] Nawir Yuslem, ulumul Hadis, h. 314
[23] Nawir Yuslem, Ulumul, h. 316. lihat juga Hasbi as-Shidqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) dan Fathurrahman, Ikhtisar Mushtalah Hadis (Bandung: al-Ma’arif, 1970), h. 143.
[24] Ajjaj, as-Sunnah,h. 293.
[25] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, h. 83
[26] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003, h. 191-193


[27] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2002, h. 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar