Kamis, 19 Januari 2012

OTONOMISASI PENDIDIKAN ISLAM


OTONOMISASI PENDIDIKAN ISLAM
A.    Pendahuluan
Tanggung jawab konstitusional Pemerintah Negara RI sesuai dengan UUD 1945 adalah “mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional” (Pasal 31 ayat 3) dalam rangka “meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”, serta “memajukan kebudayaan nasional” (Pasal 32) dan “memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi” (Pasal 31 Ayat 5) UUD 1945. Untuk menjalankan amanat dari undang-undang tersebut, pemerintah telah banyak melahirkan undang-undang sebagai pendukung undang-undang tersebut.
Jatuhnya rezim orde baru yang telah berkuasa selama lebih kurang 32 Tahun pada tahun 1998, otomatis sistem pengelolaan pemerintahan di Indonesia yang senteralistik, dimana seluruh inisistif, prakarsa dan implementasi kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan publik, termasuk didalamnya Pendidikan Nasaional ditentukan oleh pemerintah pusat. Indonesia kemudian berada dalam era baru yang popular dengan sebutan era reformasi, praktis seluruh kalangan menyuarakan perlunya pengubahan sistem sentralistik ke arah desentralisasi yang menekankan pemberdayaan daerah.
Maka puncak dari aspirasi tersebut adalah lahir dan disahkanya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, Undang-undang No. 25 Tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dan Undang-undang Nomor 32 tentang pemerintahan Daerah.
Lahirnya undang-undang tersebut diatas dipandang sebagai titik awal bagi daerah untuk mengurusi “rumah tangganya” sendiri, membangun daerahnya masing-masing antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam segala bidang. yang termasuk didalamnya bidang pendidikan. Namun dalam implementasi kebijakan pendidikan di era desentralisasi ini masih banyak kelemahan-kelemahan yang perlu dibenahi.
Sejalan dengan itu, lahir pula lah undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat 2, maka “Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan”, “Pemerintah daerah propinsi melakukan koordinasi penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan evaluasinya” (Pasal 50 ayat 2), dan “Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.[1]
Maka dalam pembahasan makalah ini, akan kita lihat bagaimana otonomisasi pendidikan di Indonesia berjalan pasca reformasi, termasuk didalamnya pendidikan Islam yang berada dibawah naungan Departemen Agama yang sampai saat ini masih bagian dari Kementerian yang belum di desentralisasi.


B.     Desentralisasi Pendidikan Islam
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Bab I, Pasal I dan ayat 8 bahwa Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.[2] Sedangkan menurut Alrasyidin Desentralisasi adalah pemberian wewenang untuk melaksanakan secara mandiri berbagai urusan yang menyangkut kehidupan individu, masyarakat atau institusi.[3]
Maka secara sederhana, Desentralisasi adalah pemberian wewenang dan tanggung jawab yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, baik dalam membuat perencanaan, pengambilan keputusan maupun mengatasi beberapa permasalahan yang dihadapi Otonomisasi atau Desentralisasi merupakan salah satu tema pokok reformasi politik dan ekonomi Indonesia pasca jatuhnya rezim orde baru. Desentralisasi/Otonomisasi yang terjadi tidak hanya menyangkut penataan bidang ekonomi dan politik, namun pendidikan juga menjadi prioritas dalam lingkup desentralisasi.
Dalam menjalankan sistem desentralisasi yang baik. Tentu tidak terlepas dari sumber dana. Karena hal tersebut merupakan unsur yang sangat urgen. pemerintah pusat sebagai pengambil kebijkan pendidikan nasional harus memiliki peta yang jelas tentang disparitas antara daerah dinegeri ini, tidak sama antara pendapatan 20 % APBD NTT dan pendapatan APBD Kalimantan Timur, maka diperlukan penilaian yang arif dalam melihat kondisi ini, agar bervariasi dalam memberikan subsidi bagi daerah yang beda kemampuannya.[4]
Dalam setiap kebijakan yang dilahirkan, tentu memilki dampak dalam problema yang sangat beragam. Ketika sekolah seperti SD, SMP, SMA yang ada dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional telah berada dibawah naungan pemerintah daerah yang dalam hal ini dibidangi Dinas Pendidikan. Terus bagaimana dengan pendidikan islam seperti MI, MTS dan MA yang berada dibawah naungan Departemen Agama apakah juga akan didesentralisasi sebagaimana sekolah umum, atau bahkan dibuat menjadi satu atap dibawah Diknas. Hal ini mulai dikemukakan oleh Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang mengganti nama Departemen pendidikan dan kebudayaan menjadi Departemen Pendidikan Nasional.
Dalam kaitan dengan hal ini, maka desentralisasi pendidikan dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusan sendiri dalam bidang pendidikan, namun tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan itu, pembangunan nasional.[5]

Sedangkan Desentralisasi/Otonomisasi Pendidikan Islam menurut Prof. Fachruddin adalah pemberian wewenang kepada lembaga Pendidikan Islam untuk mengelola sendiri pendidikan dalam sistem yang ada.[6] Seperti yang ada dalam pengelolaan sistem pendidikan Islam dimasa lampau, bagaimana pengelolaan pendidikan Islam Nizamiyah berdiri sendiri tanpa ada unsur politik yang terkadang “mengganggu” kenyamanan sebuah institusi pendidikan,  kondisi ini yang terjadi di institusi pendidikan Indonesia yang terlalu banyak unsur politik didalamnya.
Menurut H.A.R. Tilaar desentralisasi atau otonomisasi ternyata merupakan suatu masalah yang kompleks, karena:
1.      Akan menciptakan satu system pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang konkret,
2.      Mengatur sumber daya dan pemanfaatannya
3.      Melatih tenaga-tenaga (SDM) yang professional, baik tenaga guru maupun tenaga-tenaga manager pada tingkat lapangan,
4.      Menyusun kurikulum yang sesuai, dan
5.      Mengelola system pendidikan yang berdasarkan kebudayaan setempat.[7]
Pendidikan berbasis masyarakat sebenarnya telah lama diselenggarakan kaum muslimin Indonesia, bahkan dikatakan setua sejarah perkembangan Islam di bumi nusantara. Akan tetapi, peranan pemerintah terhadap lenbaga-lembaga pendidikan Islam sejak kemerdekaan sampai sekarang dapat dikatakan sangat minimal. Data pada Departemen Agama menunjukkan, bahwa MI pada sekolah swasta mencapai 95.2 persen; MIN hanya 4.8 persen; keadaan ini terbalik dengan SDN yang berjumlah 93.1 persen, berbanding 30 persen MAN. Sedangkan SMUN 30.5 persen berbanding SMU swasta sebanyak 69.4 persen.[8]
Mengantisipasi rencana perubahan-perubahan yang kelihatannya sulit dielakkan itu, forum kajian pendidikan, Departemen Agama, telah merumuskan beberapa alternative yang dapat dipilih bagi pendidikan agama dan keagamaan.
Alternatif pertama: eksistensi suprastruktur Ditjen Binbaga, Depag, tetap dipertahankan, sedangkan penyelenggaraan pendidikan dilimpahkan kepada Pemda Tingkat II, dasar pertimbangan alternative pertama ini adalah bahwa Depag tetap memegang kewenangan dalam mengelola pendidikan agama dan pendidikan keagamaaan sesuai dengan aspirasi masyarakat muslimin. Selain itu, pembinaan pendidikan agama dan keagamaan secara operasional akan sama dengan pembinaan pendidikan disekolah umum, yang akan ditangani pemda sesuai dengan UU. No 22 tahun 1999.
Alternatif pertama ini jelas memiliki kekuatan yang memiliki kekuatan yang berkaitan dengan pemeliharaan wewenang dan bahkan eksistensi Departemen agama itu sendiri sejak dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari sudut daerah, pemda dapat menghilangkan diskriminasi terhadap masyarakat dan sebaliknya, memperlakukannya sama dengan sekolah umum.
Kelemahan alternative pertama adalah ia kurang selaras dengan semangat otonomi dan desenteralisasi. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa, setiap pemda memiliki apresiasi dan memberikan perhatian memadai kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Alternatif kedua: institusi Ditjen Binbaga, Depag, dintegrasikan kedalam depdiknas dan penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan diserahkan kepada pemda sesuai UU No. 22 Tahun 1999. Dasar pertimbangan alternative kedua ini adalah bahwa dengan satu atap dibawah Depdiknas, maka penyelenggaraan (termasuk pendanaan) dan kualitas pendidikan agama dan keagamaan akan sama dan sejajar dengan sekolah umum.
Kekuatan alternative kedua ini adalah dengan satu atap, maka pendidikan agama dan keagamaan menjadi lebih terintegrasi kedalam sistem pendidikan nasional; tidak ada lagi dikotomi kelembagaan dan substansial antara pendidikan agama dan keagamaan dalam pendidikan umum.
Kelemahan arternative kedua ini adalah tidak adanya atau kurang adanya jaminan tentang kelanjutan eksistensi pendidikan agama dan keagamaan Islam. Karena bukan tidak mungkin, pengintegrasian structural itu merupakan langkah awal dari peleburan pendidikan agama dan keagamaan Islam kedalam sistem pendidikan umum.  Dan juga tidak ada jaminan bahwa para petinggi depdiknas akan selalu mempunyai kepedulian kepada pendidikan dan keagamaan Islam.
            Namun fakta yang terjadi adalah, Ketika penyelenggaraan pendidikan persekolahan dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional didesentralisasikan kepada pemerintah daerah, ternyata pendidikan islam tidak diikutsertakan. Agama dan berbagai aspek yang berkaitan dengannya, termasuk pendidikan Islam adalah salah satu dari lima urusan yang tidak didesentralisasikan pemerintah pusat kepada daerah.[9]
C.    Pendidikan Dua Kamar
Kebijakan Nasional tentang pendidikan, mengklasifikasikan pengelolaan sekolah/perguruan tinggi ke dalam dua kamar, yaitu untuk sekolah/perguruan tinggi umum berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional sedangkan sekolah/madrasah/perguruan tinggi agama berada di bawah Kementerian Agama.
Karena anggaran, kebijakan dan manajemen kedua kementerian tersebut berbeda maka dalam waktu yang relatif lama hal ini berdampak pada terjadinya kesenjangan antara sekolah yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan sekolah yang dikelola oleh Kementerian Agama. Hal ini juga berdampak luas pada out put dari sekolah yang dikelola oleh dua kementerian tersebut.
Meskipun juga banyak kita dapatkan beberapa sekolah yang dikelola oleh masyarakat prestasinya jauh lebih bagus dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri. Di samping itu lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama sebagian besar adalah lembaga pendidikan swasta yang sumber pembiayaannya sebagian besar berasal dari sumbangan masyarakat atau dari BP3, sedangkan sekolah yang menginduk ke Kementerian Pendidikan Nasional sebagian besar adalah sekolah negeri yang operasional pendidikan dan pembangunannya bersumber dari APBN atau APBD. Demikian pula gurunya sebagian besar adalah PNS yang sudah barang tentu digaji oleh negara.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) tanggal 27/5 2010, Komisi VIII DPR RI dengan Rektor PTAI , diindikasikan bahwa kenaikan anggaran 20% untuk sektor pendidikan masih belum dirasakan manfaatnya oleh lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama.
Hal ini didasari masih melekatnya pandangan bahwa pendidikan yang bisa dibiayai oleh Kemendiknas  hanyalah pendidikan di bawah koordinasinya. Sehingga pendidikan yang berada di bawah Kemenag bukanlah menjadi bagian dari anggaran pendidikan dimaksud. Jadi yang sungguh diperlukan adalah adanya kesamaan visi bahwa pendidikan di manapun lembaganya adalah bagian dari pendidikan nasional secara umum.
D.    Pendidikan Islam Satu Atap
Ada juga pemikiran yang timbul agar sekolah-sekolah yang ada dibawah naungan Departemen Agama ini berada dibawah “satu atap” dengan sekolah-sekolah yang ada dibawah naungan Depdiknas. Seolah-olah ada kesan bahwa system pendidikan kita saat sekarang ini duplikasi atau dikhotomis.
Sebatulnya jika kita merujuk pada sistem pendidikan nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 dan diiringi dengan seperangkat peraturan pemerintah tentang pendidikan. maka dapat dimaknai bahwa sistem pendidikan kita tidak mesti satu atap, tetapi satu sistem. Satu sistem dengan satu atap adalah berbeda, satu atap pendidikan itu berada dibawah satu badan atau lembaga tertentu, sedangkan satu sistem adalah pendidikan yang dikelola oleh banyak atap tetapi berada dalam satu koordinasi serta satu aturan yang diberlakukan secara sama serta taat asas atau aturan yang telah ditetapkan oleh sistem tersebut.[10]
Pengetian sistem yakni, adanya kesatuan yang saling terkait antara unsure-unsur atau komponen-komponen untuk menuju satu tujuan yang telah ditetapkan. Hafiz Abbas sebagaimana yang telah ditulis dalam bukunya Prof. Haidar Daulay mengomentari, “ ada baiknya pendidikan satu atap itu berarti penyelenggaraan banyak atap tetapi koridor-koridor kebijakan menyentuh seluruh aspek, mengenai pendidikan dipahami sebagai satu sistem dan bisa diterima oleh semua pihak.
Arah pendidikan yang berorientasi dari atas kebawah (top-down), sentralisasi, telah bergeser kearah era pendidikan yang bertolak dari paradigma desentralisasi. Buttum up, community based educated yang berimplikasi bahwa suara arus bawah itu amat diperhatikan dalam membangun pendidikan masa depan. Jika alur fikir ini dikedepankan dalam menatap masalah pendidikan “satu atap” dimaknai dengan satu instansi atau satu lembaga menjadi tidak relevan, karena akan berdampak tidak memberi peluang bagi tumbuhnya sekolah-sekolah yang meiliki cirri-ciri kekhususan.
Dalam sistem pendidikan nasional, beberapa hal yang prinsipil telah ditetapkan, dan itu perlu membangun suatu sistem yang kokoh, akan tetapi peluang-peluang yang bersifat fleksibel juga tidak bisa dihindari untuk membuka inovasi  serta ciri khas dari suatu lembaga pendidikan, sepanjang standar mutu tetap diikuti secara konsisten, jika arah seperti ini maka konsep satu sistem lebih relevan ketimbang satu atap.
E.     Pendidikan Islam dan Otonomi Daerah
Pendidikan Islam dalam uraian ini dapat dikemukakan pengertiannya dalam tiga hal: Pertama, sebagai lembaga. Kedua, sebagai mata pelajaran, Ketiga, sebagai Value. Pendidikan Islam sebagai lembaga, sejak Indonesia merdeka ada beberapa lembaga pendidikan Islam formal, yaitu pesantren, sekolah, madrasah dan perguruan tinggi Islam. Di pesantren dengan berbagai polanya dilakukan pentransferan ilmu-ilmu dan nilai-nilai (Value) keislaman. Disekolah sejak Indonesia merdeka dimasukkan mata pelajaran agama, sedangkan di madrasah sejak Indonesia merdeka telah diprogramkan mata pelajaran agama dan umum yang seimbang. [11]
1.      Pendidikan Islam Sebagai Lembaga
Untuk melihat sejauh mana keterkaitan antara lembaga pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional, maka perlu dilihat dalam butir-butir Peraturan Pemerintah, diantaranya:
a)      Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990
Bab III  pasal (3):  Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Yang Berciri Khas Agama Islam yang Diselenggarakan Oleh Depertemen Agama masing-masing disebut madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah.
Bab III pasal (4):   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri, sedangkan ayat (3) diatur oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Menteri Agama.

Bab IV pasal (10)   
Ayat(1):     Tanggung jawab atas pengelolaan  madrasah dilimpahkan Menteri kepada Menteri agama.
Ayat(2):     Pengadaan, pendayagunaan dan pengembangan tenaga kependidikan, kurikulum, buku pelajaran dan peralatan pendidikan dari satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Menteri.
Bab VI pasal (11)
Ayat(1):    Satuan pendidikan dasar yang didirikan oleh pemerintah diselenggarakan oleh Menteri atau Menteri lain.
Ayat(3):    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan khusus untuk satuan pendidikan dasar di lingkungan Departemen Agama diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Menteri.
Bab VI pasal (13)
Ayat (3):   Kepala  sekolah dari madrasah yang diselenggarakan oleh pemerintah bertanggung jawab tentang penyenggarakan kegiatan pendidikan, tentang administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya dan pendayagunaan sarana dan prasarana kepeda Menteri Agama.
Bab VI pasal (13)
Ayat (6):   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur oleh Menteri dan khusus untuk satuan pendidikan di lingkungan Depertemen Agama setelah mendengar pertimbangan Menteri.
b)     Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990
Bab II pasal (3)
Ayat (6):  Pendidikan menengah keagamaan mengutamakan persiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.



Bab III pasal (4)
Ayat (1):   Bentuk satuan pendidikan menegah terdiri atas:
1.      Sekolah Menengah Umum
2.      Sekolah Menengah Kejuruan
3.      Sekolah Menengah Keagamaan
4.      Sekolah Menengah kedinasan
5.      Sekolah Menengah Luar Biasa.
Ayat (3):   Penamaan masing-masing bentuk sekolah menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) angka 3 ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Menteri.
Bab IV pasal (9)
Ayat (3):   Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dalam ayat (1) khusus untuk sekolah menengah keagamaan dan kedinasan diatur oleh Menteri lain setelah pertimbangan Menteri.
Bab IV pasal 11
Ayat (2):   Tanggung jawab pengelolaan sekolah menengah keagamaan dilimpahkan oleh Menteri kepada Menteri Agama.

c)      Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0489 / U /1992, Tentang sekolah umum yang bercirikan agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen  Agama.

d)     Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999.
Bab I pasal (1) ayat  (9) penyelenggaraan perguruan tinggi adalah Depertemen, depertemen lain, atau pimpinan lembaga pemerintah lain bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau badan penyelengara perguruan tinggi swasta bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.

e)      Peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1991
Bab III pasal (3)
        Ayat (1):        Jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan.
Bab III pasal (3)
                                      Ayat (3):        Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
Bab VIII pasal 16
        Ayat (1):        Kursus harus memiliki sejumlah warga belajar, tenaga kependidikan, kurikulum dan alat penunjang belajar.
Bab VIII pasal 16
        Ayat (3):        Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tata cara pendidikan kursus yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan ditetapkan oleh Menteri Agama setelah berkonsultasi dengan Menteri.
Bab X pasal 22
        Ayat (3):        Pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan merupakan tanggung jawab Menteri Agama.

f)       Peraturan pemerintah nomor 38 Tahun 1992.
Bab V pasal (9)
Ayat (2):        Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pendidikan agama, selain memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ayat (1) harus beragama sesuai agama  yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan.
Bab V pasal (10)
        Ayat (1):        Pengangkatan dan penempatan tenaga pendidik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh  pemerintah dilakukan oleh Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah non departeman dengan memperhatikan keseimbangan antara penempatan dan kebutuhan serta ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pegawai negeri.
Bab V pasal 14
        Ayat (1):        Calon tenaga pendidik dibidang pendidikan agama pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama dididik sebagai  calon guru mata pelajaran di lembaga pendidikan tenaga keguruan. Persyaratan pengangkatan calon tenaga pendidik dibidang pendidikan agama yang bukan lulusan lembaga pendidikan tenaga keguruan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)  ditetapkan oleh Menteri Agama.
Bab V pasal 14
        Ayat (2):        Calon tenaga pendidik dibidang pendidikan agama pada satuan pendidikan menengah dididik sebagai guru mata pelajaran di lembaga pendidikan tenaga keguruan. (Bab V pasal 16 ayat (1)
                               Bab V pasal 16
                                      Ayat (2):        Persyaratan pengangkatan calon tenaga pendidik dibidang pendidikan  agama yang bukan lulusan lembaga pendidikan tenaga keguruan sebagaimana dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Agama.
Bab V pasal 17
                                      Ayat (4):        persyaratan pengangkatan  calon tenaga pendidik dibidang pendidikan agama pada perguruan tinggi ditetapkan oleh Menteri Agama.
Bab XI pasal (45):              Pada sekolah menengah keagamaan terdapat kedudukan tenaga pendidikan yang meliputi kepala sekolah dan wakil kepala sekolah , wali kelas, guru mata pelajaran, pembimbing, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar dan kepala asrama. Persyaratan pengangkatan calon tenaga penndidik dibidang pendidikan agama pada perguruan tinggi ditetapkan oleh Menteri Agama.[12]
2.      Pendidikan Islam Sebagai Mata Pelajaran
            Dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang pendidikan ditemukan beberapa poin tentang pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Undang-undang Nomor 2 Tahun1982, Bab IX pasal 39 ayat (2) dan (3):
Ayat (2): Isi setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat;
a.       Pendidikan Pancasila
b.      Pendididkan Agama, dan
c.       Pendidikan Kewarganegaraan
Ayat (3): Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran (PP 28 Bab VII pasal (14), ayat (2).
a.       Pendidikan Pancasila
b.      Pendidikan Agama
c.       Pendidikan Kewarganagaraan
d.      Bahasa Indonesia
e.       Membaca dan Menulis
f.       Matematika
g.      Pengantar Sains dan Teknologi
h.      Ilmu Bumi
i.        Sejarah Nasional dan Sejarah Umum
j.        Kerajinan Tangan dan Kesenian
k.      Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
l.        Menggambar
m.    Bahasa Inggris.

3.      Nilai-nilai Islam Dalam UU Nomor 2 Tahun 1989
Ada beberapa pokok-pokok pikiran nilai-nilai Islam yang terkandung didalamnya:
1)      Pendidikan Nasional adalah pelaksanaan pembangunan nasional dibidang pendidikan
2)      Asas dan dasar pendidikan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
3)      Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantab dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
4)      Pendidikan Nasional bersifat demokratis dan humanis, yakni memberikan kesempatan kepada setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan.
5)      Memberi kesempatan didik bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik atau mental, serta memberi perhatian terhadap peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
6)      Menekankan pentingnya pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup.
7)      Pendidikan keagamaan merupakan satu jenis pendidikan pada tingkat pendidikan menengah.[13]
            Indonesia sedang berada ditengah transpormasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1974 yang hanya merupakan kepanjangan tangan pusat di daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
            Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya acua dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No 25 Tahun 1999, serta peraturan pemerintah No 25 tahun 2000, peraturan pemerintahNomor 84 Tahun 2000, selanjutnya peraturan pemerintah Nomor 104, 105, 106, 107, 108, 109 dan 110 Tahun 2000 dan ketentuan lain yang relevan.[14]
            Perkembangan situasi yang terjadi, perubahan sistem pemerintahan berupa penerapan otonomi daerah yang telah digulirkan pada tanggal 1 Januari 2001, serta reorganisasi institusi pemerintah, mengharuskan pemerintah pusat menyelaraskan dilapangan (daerah), dengan memperhatikan kapasitas daerah meliputi kapasitas individu, kelembagaan dan sistem yang telah dimiliki oleh daerah.
F.     Dewan Pendidikan
Dewan pendidikan merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarki dengan Dinas Pendidikan Kabupaten maupun dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Posisi dewan pendidikan maupun dinas pendidikan kabupaten maupun lembaga-lembaga pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan (otonomi) masing-masing berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Dewan pendidikan dibentuk berdasarkan kesepakatan dan tumbuh dari bawah berdasarkan sosiomasyarakat dan budaya serta sosiodemografis dan nilai-nilai daerah setempat. Sehingga lembaga tersebut bersifat otonom yang menganut asas kebersamaan menuju kearah peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan di daerah yang diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Kondisi ini hendaknya dijadikan dasar pertimbangan oleh masing-masingpihak atau stakeholder pendidikan di daerah agar tidak terjadi adanya pelanggaran hokum administrasi pendidikan didaerah agar tidak terjadi adanya pelanggaran hokum administrasi Negara yang mengakibatkan adanya konsekuensi hokum baik perdana maupun pidana dikemudian hari.
Sesuai tujuan dibentuknya tujuan pendidikan sebagai suatu organisasi masyarakat pendidiakn adalah sebagai berikut:
1.      Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan.
2.      Meningkatkan tanggung jawab dan perat serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu.
3.      Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.

Keberadaan dewan pendidikan harus bertumpu pada landasan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan di daerah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian peran sesuai posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran serta yang dijalankan oleh dewan pendidikan sebagai berikut:
1.      Memberi pertimbangan (advisory body) dalam penentuan dan pelaksanakan kebijakan pendidikan.
2.      Pendukung (supporting agent) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
3.      Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
4.      Mediator antara pemerintah (ekskutif) dan dewan perwakilan rakyat dearah (legislative) dengan masyarakat.

Untuk menjalankan perannya, dewan pendidikan memiliki fungsi sebagai berikut:
1.      Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2.      Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi), pemerintah dan DPRD berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3.      Menampang dan menganalisis aspirasi, ide, tuntunan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
4.      Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada pemerintah daerah/DPRD mengenai: a.kebijakan dan program pendidikan, b. criteria kinerja daerah dalam bidang pendidikan, c. criteria tenaga kependidikan, d. kriteria fasilitas pendidikan, e. hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
5.      Mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan.
6.      Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan.

G.    Komite Sekolah/ Masyarakat
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya dengan pengembangan kurikulum, peningkatan mutu guru, perbaikan sarana pendidikan, pengadaan buku dan alat peraga, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indicator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagai sekolah atau madrasah memang telah menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun pada umumnya, sebagian besar lainnya masih memprihatinkan.
Kebijakan otonomi daerah yang dimaksudkan untuk memberdayakan daerah dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan, harus diartikan sebagai upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah yang mengakomodasi pandangan, aspirasi dan potensi masyarakat, sekaligus dapat menjamin terwujudnya demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satu wadah tersebut adalah adanya dewan pendidikan ditingkat kabupaten/kota dan komite sekolah/madrasah ditingkat satuan pendidikan.[15]
Madrasah sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional yang menyelenggaraan pendidikan berkewajiban memajukan pendidikan nasional dan ikut serta bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam Undang-undang No. 20/2003 tentang sisdiknas dikemukakan bahwa komite madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/ wali peserta didik. Komunitas sekolah serta tokoh masyarakat dan berfungsi memberikan pertimbangan tentang managemen madrasah, dan bahwa komite pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat dan berfungsi memberikan pertimbangan pertimbangan dalam rangka memberdayakan dan menjamin kualitas pendidikan ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten/ kota.
Keberadaan komite madrasah merupakan  prasyarat mutlak bagi implementasi menejemen berbasis madrasah (MBM) yang efektif dan efisien.[16]
Dasar hukum yang digunakan sebagai pegangan dalam pembentukan komite madrasah adalah:
1.      Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.      Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
3.      Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 044/U/2002 Tahun 2002, tentan dewan pendidikan dan komite sekolah
4.      Keputusan Dirjen kelembagaan agama Islam Departemen Agama RI No. DJ. II/409/2003 tentang pedoman pembentukan komite sekolah.

Sedangkan dasar hukum dalam penyelenggaraan madrasah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Nasional
3.      Peraturan Pemerintahan Nomor 39 Tahun 1992 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan Nasional
4.      Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 368 tahun 1993 tentang Madrasah Ibtidaiyah.
5.      Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 369 tahun 1993 tentang Madrasah Tsanawiyah.
6.      Keputusan Menteri agama republic Indonesia nomor 370 tahun 1993 Tentang Madrasah aliyah.[17]




a.      Tujuan komite Medrasah 
Adapun tujuan dibentuknya komite madrasah sebagai suatu organisasi masyarakat madrasah adalah:
1)      Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan disatuan pendidikan.
2)      Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan dan pelayanan pendidikan di satuan pendidikan.
3)      Menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

b.      Peran Komite Madrasah
Adapun peran yang dijalankan Komite Madrasah adalah sebagai berikut:
1.      Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2.      Pendukung (suppoting agency) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3.      Mediator antara Pemerintah (executive) dengan Masyarakat di satuan pendidikan.

c.       Fungsi Komite Madrasah
Untuk menjalankan perannya itu, Komite Madrasah memilikifungsi sebagai berikut:
1)      Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2)      Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organiosasi/ dunia usaha/dunia industry) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3)      Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
4)      Memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satun pendidikan mengenai;
-          Kebijakan dan program pendidikan
-          Rencana anggaran pendidikan dan belanja madrasah
-          Kriteria kinerja satuan pendidikan
-          Kriteria tenaga kependidikan
-          Kriteria fasilitas pendidikan
-          Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
5)      Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan
6)      Menggalang dana masyarakatdalam rangka pembiyaan penyelenggaraan di satuan pendidikan.
7)      Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaran dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Komite Madrasah sesuai dengan peran dan fungsinya melakukan akuntabilitas sebagai berikut:
1.      Komite madrasah menyampaikan hasil kajian pelaksanaan program madrasah kepada stake holder secara priodik, baik yang berupa keberhasilan maupun kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran program madrasah.
2.      Menyampaikan laporan pertanggung jawaban bantuan masyarakat baik berupa materi maupun non materi (tenaga, pikiran) kepada masyarakat dan pemerintah setempat.[18]

H.    Kesimpulan
Desentralisasi/otonomisasi pendidikan dapat diartikan sebagai pelimpahan kekuasaan dan wewenang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusan sendiri dibidang pendidikan, namun tetap mengacu kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan itu, pembangunan nasional. Akan tetapi sampai saat ini desentralisasi pendidikan yang digulirkan belum berjalan secara maksimal.
Masih banyak kebijakan-kebijkan yang diambil pemerintah pusat yang harus diikuti oleh Dinas-Dinas Pendidikan di daerah yang mengintervensi kebijakan yang seharusnya diambil oleh daerah agar sesuai dengan kondisi dan situasi daerah itu sendiri. Maka desentralisasi yang telah berjalan masih perlu untuk dievalusasi agar daerah merasa benar-benar bertanggung jawab terhadap pendidikan dan tidak ada kondisi yang dilemma.
Wacana, rencana dan rancangan program kearah desentralisasi pendidikan nasional, harus diakui, belum melibatkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sangat khas seperti pesantren, yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang sangat berpengaruh dalam pembangunan bangsa.
Bagi Pesantren-pesantren yang memiliki dan mengembangkan sistem pendidikan keislaman sejak dari MI, MTs dan MA dan pendidikan umum SD, SMP, SMA jelas harus mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut. Dan tentu juga harus ada Political will bagi lembaga-lembaga pendidikan tersebut yang menjadikan pendidikan itu mandiri dan bebas dari intervensi dan kepentingan politik seperti yang selama ini terjadi. Dengan melihat kembali catatan sejarah Pendidikan Islam klasik yang begitu banyak melahirkan tokoh-tokoh yang mendunia, bukan hanya ahli dalam bidang agama, namun juga dalam bidang sciens dan pengetahuan. Sistem pengelolaan yang mandiri tersebut harus dapat diterapkan masa kontemporer ini.
     

REFERENSI

Alrasyidin, Percikan Pemikiran Pendidikan: Dari Filsafat Hingga Praktik pendidikan, Bandung: Citapustaka Media, 2009
Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islamdi Indonesia, Medan: Citapustaka Media, 2001
Fachruddin, Kepemimpinan Pendidikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah, Medan: IAIN Press, 2004
Ritonga, Asnil Aidah, Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2008
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008
Tilaar, H. A. R, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Widjaja, HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009
Widjaja, HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005





[1] Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008, h. 291
[2] HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, h. 308
[3] Alrasyidin, Percikan Pemikiran Pendidikan, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009, h. 173
[4] Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita,h. 292
[5] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), h. 4-7
[6] Disampaikan Pada seminar kelas di PPs IAIN-SU pada tanggal 15 Nov 2011
[7] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 88
[8] Azyumardi Azra, Opcit, hlm. 8
[9] Alrasyidin, h. 178
[10] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Medan: IAIN Press, 2002, h. 46
[11] Haidar putra Daulay, Pendidikan Islam di Indonesia, Medan: Cita Pustaka Media, 2001, h. 181
[12] Ibid, h. 183-189
[13] Ibid, h. 189-192
[14] HAW. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah otonomi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009, h. 1-2
[15] Fachruddin, Kepemimpinan Pndiddikan dalam Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Medan: IAIN Press, 2004, h. 68
[16] Ibid, h. 70
[17] Ibid, h. 70
[18] Ibid, h. 77-80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar