PENDAHULUAN
Kepribadian
merupakan identitas yang ada dalam diri seseorang yang hanya dirinya sendiri
yang memiliki itu, dan bukan orang lain, sekalipun saudara kembarnya
sebagaimana pernah terjadi dalam kisah fenomenal Chang dan Eng yang lahir pada
tahun 1811, dua bersaudara dari Siam (sekarang Thailand) yang mempopulerkan
istilah “kembar siam”. Mereka memiliki tubuh yang menyatu, namun mereka
memiliki reaksi yang berbeda. Chang lebih mudah stress, sedangkan Eng sangat
suka membaca. Mereka memiliki kesamaan dalam fisik, namun dalam kepribadian
mereka beda.[1
Studi
Psikologi Kepribadian merupakan studi lama yang telah dilakukan oleh para ahli,
dan melahirkan banyak teori yang banyak kita jumpai dalam kajian psikologi
kepribadian itu sendiri. Hal ini didasarkan pada bermacam-macam kategori yang
digunakan untuk penggolongan-penggolongan itu. Dan dalam mengkaji kepribadian
itu dengan pendekatan yang berbeda.[2]
Sebagian psikolog berpendapat bahwa kepribadian seseorang sangat dipengaruhi
oleh perkembangan moral, termasuk Kohlberg yang mengusung psikologi kognitif
dengan meninjau kepribadian manusia dan perkembangan moral, sehingga dapat
dilihat bagaimana prilaku seseorang dalam kondisi sosialnya.
Maka dalam makalah ini akan
diuraikan tentang Teori kepribadian manusia menurut Kohlberg, semoga dapat
menambah khazanah keilmuan kita.
PEMBAHASAN
Kepribadian Manusia Menurut
Kohlberg
A.
Biografi
Kohlberg
Nama
Lengkapnya adalah Lawrence Kohlberg, ia dilahirkan di Bronxville,
New York, Amerika Serikat, 25 Oktober 1927 dan meninggal pada 19 Januari 1987 dalam usia 59 tahun. Ia menjabat sebagai profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral. Kohlberg merupakan
pengikut teori perkembangan
kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg.
Kohlberg dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya. Ia menjalani pendidikan
di Akademi
Phillips, sebuah
SMA swasta yang terkenal di New York. Pada Perang Dunia II, setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, ia mendaftar
sebagai ahli mesin di sebuah kapal perang. Di kapal itu, ia dan teman-temannya
sekapal memutuskan untuk membantu orang-orang Yahudi yang berusaha melarikan diri dari Eropa ke Palestina.[3]
Setelah dinasnya dalam perang, ia
mendaftar ke Universitas Chicago pada 1948. Hasil ujian masuknya sangat tinggi,
dan ia memperoleh gelar sarjana dalam psikologi dalam waktu hanya satu tahun. Kohlberg terus bertahan di
Universitas Chicago untuk melanjutkan ke program pasca-sarjana, dan tertarik
pada penalaran moral anak-anak dan karya-karya awal Jean Piaget
dan yang lain-lainnya. Ia menulis disertasi doktoralnya di sana pada tahun 1958. yang memberikan kerangka dari apa
yang kini dikenal sebagai tahap
perkembangan moral Kohlberg.
Kohlberg kemudian mengajar pada 1962 di Universitas Chicago
di Komite tentang Perkembangan Manusia, dan memperpanjang masa tinggalnya
dengan dunia pendidikan. Pada 1968, dalam usia 40 tahun dan menikah serta
dikarunia dua orang anak, ia menjadi profesor pendidikan dan psikologi sosial di Universitas Harvard. Sementara di Harvard, ia berjumpa
dengan Carol
Gilligan, yang
belakangan menjadi koleganya dan kritik terhadap teori perkembangan moralnya.
Dalam sebuah kunjungan ke Israel pada 1969, Kohlberg
berkunjung ke sebuah kibbutz dan mengamati betapa perkembangan moral orang-orang muda
saat itu jauh lebih berkembang dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi
bagian dari kibbutz. Ia memutuskan untuk memikirkan ulang penelitiannya saat
itu dan memulai sebuah sekolah baru yang dinamai Sekolah
Cluster di dalam
SMA Cambridge Rindge and Latin. Sekolah Cluster dikelola sebagai
sebuah 'komunitas
yang adil' di mana
siswa-siswanya mempunyai hubungan dasar dan yang layak dipercaya dengan
sesamanya, dengan menggunakan demokrasi dalam pengambilan semua keputusan di sekolah itu.
Dilengkapi dengan model ini, ia memulai ‘komunitas yang adil’ yang sama di
sekolah-sekolah yang lain, bahkan juga satu di penjara.
Kohlberg tertular sebuah penyakit tropis pada 1971 ketika ia
melakukan pekerjaan lintas budaya di Belize. Akibatnya, ia bergumul dengan depresi dan penderitaan fisik selama 16 tahun kemudian. Pada 19
Januari 1987, ia meminta cuti satu hari dari Rumah Sakit Massachusetts tempat
ia dirawat, lalu pergi dengan mobilnya ke pantai, dan kemudian bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di Samudera Atlantik. Umurnya 59 tahun ketika ia meninggal dunia.[4]
B. Kepribadian
Manusia Menurut Kohlberg
Studi tentang kepribadian yang dilakukan oleh
Kohlberg yang merupakan perpanjangan dan modifikasi dari apa yang dilakukan
oleh piaget. menurut kohlberg Tahapan perkembangan moral adalah ukuran
dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran
moralnya. Kohlberg berpendapat bahwa
pemikiran seorang anak ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya.
Sedangkan disisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang
akan diolah oleh ranah kognitif secara aktif. Dalam intraksi sosial dengan
teman-teman sepermainan. Sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang
menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.[5]
Pada tahap perkembangan kognitif yang
memungkinkan sikap dan prilaku egosintrisme Seorang anak berkurang, lazimnya
pertimbangan moral (moral reasoning)
anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-nak yang masih diliputi
sikap dan perilaku mementingkan dirinya sendiri itu hanya akan mampu memahami
kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus
berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang
dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan.
Teori perkembangan moral Kohlberg dipengaruhi
oleh tradisi formal dan filsafat dan tradisi strukturalis dalam psikologi,
sehingga ia memusatkan pada hirarki perkembangan moral, yang mana penalaran
moral individu dapat digolongkan dalam tahap-tahap menurut pemecahan mereka
terhadap dilemma moral yuang diajukan. Salah satu kelebihan teori perkembangan
moral dari Kohlberg adalah tahapan-tahapan perkembangan itu sendiri yang
memudahkan orang dalam memahami perkembangan moral. Adanya tahapan-tahapan
tersebut juga memudahkan orang untuk membuat perkiraan tentang perkembangan
moral seseorang.[6]
Menurut Kohlberg sebagaimana dikutip oleh T.
Lickona, tingkat dan tahapan perkembangan moral itu mempunyai cirri,
diantaranya adalah:
1.
Tingkatan
yang bersifat hirarchial integrations. Apabila
seseorang individu didapati berada disatu tingkat yang lebih tinggi, ini
bermakna bahwa ia telah melalui peringkat-peringkat moral yang lebih rendah.
2.
Tingkatan
yang bersifat structured wholes karena
ia merupakan sistem pemikiran yang berkelanjutan. Cara seseorang menganalisis
dan menginterpretasikan data serta membuat keputusan mengenai masalah moral dan
pribadi merupakan perkara yang sangat penting dalam perkembangan moral secara
keseluruhan.
3.
Urutan
dalam tingkatan itu adalah tidak varian, yaitu pergerakan dalam tingkatan
perkembangan moral selalu kedepan dan tidak pernah mundur.[7]
Kohlberg sebagai penerus piaget menemukan
tiga tingkat perkembangan moral yang dilalui oleh manusia, masing-masing
tingkat memiliki dua tahap.[8] Adapun
tingkat perkembangan moral tersebut
adalah Tingkat Pra-Konvensional, Konvensional dan Pasca Konvensional.
1.
Tingkat Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada
pada anak-anak (usia 4-10 tahun). Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal
dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu
memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan
sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin
salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai
sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku
yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap
dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap
bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, Dalam tahap
dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
besifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat
pra-konvensional adalah semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri
sendiri saja. Tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain. perpektif dunia dilihat
sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2.
Tingkat Konvensional
Tingkat Konvensional (Contional
Role Conformity) umumnya ada pada kalangan remaja (usia 10-13 tahun). Pada tahapan
ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap
ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki
masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan
persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi
seorang anak baik. untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosialnya. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan
dalam penalaran di tahap ini; “mereka bermaksud baik” mereka bukan lagi menghindari
hukuman, namun agar memperoleh persetujuan orang dewasa.
Dalam tahap empat, adalah memperhatikan hukum
dan peraturan. Anak
dan remaja memiliki sikaf pasti terhadap wewenang dan aturan dan hukum harus
ditaati oleh semua orang.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa
yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar
hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas
untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara
moralia salah, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3.
Tingkat Pasca Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip (pada usia 13 tahun keatas). Pada tingkat ini moral diterima demi
dirinya sendiri (Self Accepted Moral
Principle).. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah
dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini
membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku
pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang
sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah
penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang
tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolute. memang anda siapa membuat keputusan. kalau yang lain tidak? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku
yang dibuat individu. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan bagi orang
banyak. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas dan kompromi.
Maka pemerintahan yang demokratis tampak dalam tahap ini.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar
pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila
berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan
untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak
sosial dan tidak penting untuk tindakan moral. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang
saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil, seseorang
bertindak karena hal itu benar.
Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten.
Tabel Perkembangan Moral Kohlberg
Tingkat
|
Tahap
|
Konsep Moral
|
Tingkat I
|
Moralitas prakonvensional (usia 4-10 tahun) |
1. Anak menentukan keburukan perilaku
berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut.
2. Perilaku baik dihubungkan dengan
penghindaran dari hukuman
|
Tahap 1: memperhatikan ketaatan dan hukum |
||
Tahap 2: memperhatikan pemuasan
kebutuhan |
1.
Perilaku
baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan
kebutuhan orang lain.
|
|
Tingkat II
|
Moralitas Konvensional (Usia 10-13 tahun) |
1.
Anak
dan remaja berprilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh
persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
2.
Perbuatan
baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi, ada perkembangan
kesadaran terhadap perlunya aturan.
|
Tahap 3: memperhatikan citra “anak
baik” |
||
Tahap 4: memperhatikan hukum dan
peraturan |
1.
Anak
dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan.
2. Hukum harus ditaati oleh semua
orang.
|
|
Tingkat III
|
Moralitas pasca konvensional (usia
13 tahun ke atas). |
1.
Remaja
dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan
dan patokan sosial.
2. Perubahan hokum dan aturan dapat
diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
3.
Pelanggaran
hukum dan aturan dapat terjadi karena alas an-alasan tertentu.
|
Tahap 5: memperhatikan hak
perseorangan. |
||
Tahap 6: memperhatikan
prinsip-prinsip etika |
1. Keputusan mengenai
perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral pribadi yang
bersumber dari hokum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan
kepentingan orang lain.
2. Keyakinan terhadap moral dan
pribadi dan nilai-nilai tetap melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan
dengan hokum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial. Contoh: seorang
suami yang tak beruang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa
istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia itu merupakan
kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
|
Secara praktis dengan adanya tahap-tahap perkembangan
memudahkan orang untuk memberikan stimulasi yang tepat untuk meningkatkan
penalaran seorang anak. Teori Kohlberg merupakan sebuah teori perkembangan
kognitif klasik, yang memberikan catatan tentang sifat yang integrated. Beberapa penelitian yang
mendukung teori Kohlberg tersebut diatas adalah antara lain penelitian Kohlberg
sendiri yang menemukan bahwa dengan meningkatnya usia, maka subjek juga
cenderung mencapai penalaran moral yang lebih tinggi.[9]
Selain daripada itu, teori yang dikemukakan Kohlberg tentang
perkembangan moral bukan didasarkan pada perkembangan kognitif, bukan tanpa kritik.
Gibbs sebagaimana dikutip Papalia menyebutkan bahwa pendekatan kognitif
terhadap penalaran moral kurang memberi perhatian pada nilai penting emosi.
Aktivitas moral tidak hanya dimotivasi oleh pertimbangan abstrak seperti
keadilan, tetapi juga oleh emosi seperti rasa empati, rasa bersalah, rasa
sedih, dan internalisasi norma proporsional.[10]
Selain hal tersebut diatas, yang menjadi tema penting yang
merupakan kritik keras terhadap teori perkembangan moral Kohlberg adalah Pemikiran
moral dan perilaku moral. Teori Kohlberg dikritik karena terlalu banyak
penekanan pada penalaran moral dan kurang memberi penekanan terhadap perilaku
moral. Penalaran moral terkadang dapat menjadi justifikasi dan perlindungan
bagi perilaku immoral. Penipu, koruptor dan pencuri mungkin mengetahui apa yang
benar, tetapi masih melakukan apa yang salah.
Menurut Gilligan, Kohlberg juga dipandang kurang
memperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan moral. Dia percaya bahwa
hal ini mungkin terjadi karena Kohlberg seorang laki-laki, karena kebanyakan
penelitiannya adalah dengan laki-laki daripada dengan perempuan, dank arena ia
menggunakan renspons laki-laki sebagai suatu model bagi teorinya.[11]
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
teori kepribadian manusia menurut Kohlberg erat kaitannya dengan perkembangan
moral kognitif, mulai anak-anak sampai dewasa.
Inti dari teori Kohlberg tersebut adalah tiga tingkat
perkembangan moral yaitu Tingkat Pra-Konvensional, Tingkat Konvensional dan
Pasca-Konvensional dan didalamnya ada enam tahapan-tahapan. Kohlberg
mengklasifikasikan perkembangan moral manusia yang selalu berubah sesuai dengan
tingkat usianya. Semakin tinggi usia seseorang, kemungkinan akan semakin tinggi
penalaran moralnya.
REFERENSI
Crapss, Robert W. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta:
Kanisius, 2000
Durkin, Kevin, Developmental Social Psychology, Massachussetts:
Blackweell Pubhlisher Inc, 1995
Friedman, Howard S.
Miriam W. Schustack, Kepribadian, Teori
Klasik dan Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006
Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Papalia, Diane E. et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar,
Jakarta: Kencana, 2008
R. L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York:
Praeger Publisher, 1980
Suryabrata,
Sumardi, Psikologi Kepribadian, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008
T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and
Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976
http://faculty.plts.edu/gpence/html/kohlberg.htm.
[1]Howard S. Friedman, Miriam W.
Schustack, Kepribadian, Teori Klasik dan
Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006, h. 1
[2] Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008, h. 3
[5] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. h. 75
[6] R.C. Sprinthall, Educational Psychology: A developmental
Approach, Boston: Mc Graw-Hill Company, 1995, h. 67-68
[7] T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and
Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976, h. 31-35
[8] Robert W. Crapss, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta:
Kanisius, 2000, h. 123
[9] Kevin Durkin, Developmental Social Psychology, Massachussetts:
Blackweell Pubhlisher Inc, 1995, h. 76
[10] Diane E. Papalia, et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar,
Jakarta: Kencana, 2008, h. 566
[11] R. L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York:
Praeger Publisher, 1980, h. 70
PENDAHULUAN
Kepribadian
merupakan identitas yang ada dalam diri seseorang yang hanya dirinya sendiri
yang memiliki itu, dan bukan orang lain, sekalipun saudara kembarnya
sebagaimana pernah terjadi dalam kisah fenomenal Chang dan Eng yang lahir pada
tahun 1811, dua bersaudara dari Siam (sekarang Thailand) yang mempopulerkan
istilah “kembar siam”. Mereka memiliki tubuh yang menyatu, namun mereka
memiliki reaksi yang berbeda. Chang lebih mudah stress, sedangkan Eng sangat
suka membaca. Mereka memiliki kesamaan dalam fisik, namun dalam kepribadian
mereka beda.[1]
Studi
Psikologi Kepribadian merupakan studi lama yang telah dilakukan oleh para ahli,
dan melahirkan banyak teori yang banyak kita jumpai dalam kajian psikologi
kepribadian itu sendiri. Hal ini didasarkan pada bermacam-macam kategori yang
digunakan untuk penggolongan-penggolongan itu. Dan dalam mengkaji kepribadian
itu dengan pendekatan yang berbeda.[2]
Sebagian psikolog berpendapat bahwa kepribadian seseorang sangat dipengaruhi
oleh perkembangan moral, termasuk Kohlberg yang mengusung psikologi kognitif
dengan meninjau kepribadian manusia dan perkembangan moral, sehingga dapat
dilihat bagaimana prilaku seseorang dalam kondisi sosialnya.
Maka dalam makalah ini akan
diuraikan tentang Teori kepribadian manusia menurut Kohlberg, semoga dapat
menambah khazanah keilmuan kita.
PEMBAHASAN
Kepribadian Manusia Menurut
Kohlberg
A.
Biografi
Kohlberg
Nama
Lengkapnya adalah Lawrence Kohlberg, ia dilahirkan di Bronxville,
New York, Amerika Serikat, 25 Oktober 1927 dan meninggal pada 19 Januari 1987 dalam usia 59 tahun. Ia menjabat sebagai profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral. Kohlberg merupakan
pengikut teori perkembangan
kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg.
Kohlberg dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya. Ia menjalani pendidikan
di Akademi
Phillips, sebuah
SMA swasta yang terkenal di New York. Pada Perang Dunia II, setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, ia mendaftar
sebagai ahli mesin di sebuah kapal perang. Di kapal itu, ia dan teman-temannya
sekapal memutuskan untuk membantu orang-orang Yahudi yang berusaha melarikan diri dari Eropa ke Palestina.[3]
Setelah dinasnya dalam perang, ia
mendaftar ke Universitas Chicago pada 1948. Hasil ujian masuknya sangat tinggi,
dan ia memperoleh gelar sarjana dalam psikologi dalam waktu hanya satu tahun. Kohlberg terus bertahan di
Universitas Chicago untuk melanjutkan ke program pasca-sarjana, dan tertarik
pada penalaran moral anak-anak dan karya-karya awal Jean Piaget
dan yang lain-lainnya. Ia menulis disertasi doktoralnya di sana pada tahun 1958. yang memberikan kerangka dari apa
yang kini dikenal sebagai tahap
perkembangan moral Kohlberg.
Kohlberg kemudian mengajar pada 1962 di Universitas Chicago
di Komite tentang Perkembangan Manusia, dan memperpanjang masa tinggalnya
dengan dunia pendidikan. Pada 1968, dalam usia 40 tahun dan menikah serta
dikarunia dua orang anak, ia menjadi profesor pendidikan dan psikologi sosial di Universitas Harvard. Sementara di Harvard, ia berjumpa
dengan Carol
Gilligan, yang
belakangan menjadi koleganya dan kritik terhadap teori perkembangan moralnya.
Dalam sebuah kunjungan ke Israel pada 1969, Kohlberg
berkunjung ke sebuah kibbutz dan mengamati betapa perkembangan moral orang-orang muda
saat itu jauh lebih berkembang dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi
bagian dari kibbutz. Ia memutuskan untuk memikirkan ulang penelitiannya saat
itu dan memulai sebuah sekolah baru yang dinamai Sekolah
Cluster di dalam
SMA Cambridge Rindge and Latin. Sekolah Cluster dikelola sebagai
sebuah 'komunitas
yang adil' di mana
siswa-siswanya mempunyai hubungan dasar dan yang layak dipercaya dengan
sesamanya, dengan menggunakan demokrasi dalam pengambilan semua keputusan di sekolah itu.
Dilengkapi dengan model ini, ia memulai ‘komunitas yang adil’ yang sama di
sekolah-sekolah yang lain, bahkan juga satu di penjara.
Kohlberg tertular sebuah penyakit tropis pada 1971 ketika ia
melakukan pekerjaan lintas budaya di Belize. Akibatnya, ia bergumul dengan depresi dan penderitaan fisik selama 16 tahun kemudian. Pada 19
Januari 1987, ia meminta cuti satu hari dari Rumah Sakit Massachusetts tempat
ia dirawat, lalu pergi dengan mobilnya ke pantai, dan kemudian bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di Samudera Atlantik. Umurnya 59 tahun ketika ia meninggal dunia.[4]
B. Kepribadian
Manusia Menurut Kohlberg
Studi tentang kepribadian yang dilakukan oleh
Kohlberg yang merupakan perpanjangan dan modifikasi dari apa yang dilakukan
oleh piaget. menurut kohlberg Tahapan perkembangan moral adalah ukuran
dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran
moralnya. Kohlberg berpendapat bahwa
pemikiran seorang anak ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya.
Sedangkan disisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang
akan diolah oleh ranah kognitif secara aktif. Dalam intraksi sosial dengan
teman-teman sepermainan. Sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang
menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.[5]
Pada tahap perkembangan kognitif yang
memungkinkan sikap dan prilaku egosintrisme Seorang anak berkurang, lazimnya
pertimbangan moral (moral reasoning)
anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-nak yang masih diliputi
sikap dan perilaku mementingkan dirinya sendiri itu hanya akan mampu memahami
kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus
berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang
dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan.
Teori perkembangan moral Kohlberg dipengaruhi
oleh tradisi formal dan filsafat dan tradisi strukturalis dalam psikologi,
sehingga ia memusatkan pada hirarki perkembangan moral, yang mana penalaran
moral individu dapat digolongkan dalam tahap-tahap menurut pemecahan mereka
terhadap dilemma moral yuang diajukan. Salah satu kelebihan teori perkembangan
moral dari Kohlberg adalah tahapan-tahapan perkembangan itu sendiri yang
memudahkan orang dalam memahami perkembangan moral. Adanya tahapan-tahapan
tersebut juga memudahkan orang untuk membuat perkiraan tentang perkembangan
moral seseorang.[6]
Menurut Kohlberg sebagaimana dikutip oleh T.
Lickona, tingkat dan tahapan perkembangan moral itu mempunyai cirri,
diantaranya adalah:
1.
Tingkatan
yang bersifat hirarchial integrations. Apabila
seseorang individu didapati berada disatu tingkat yang lebih tinggi, ini
bermakna bahwa ia telah melalui peringkat-peringkat moral yang lebih rendah.
2.
Tingkatan
yang bersifat structured wholes karena
ia merupakan sistem pemikiran yang berkelanjutan. Cara seseorang menganalisis
dan menginterpretasikan data serta membuat keputusan mengenai masalah moral dan
pribadi merupakan perkara yang sangat penting dalam perkembangan moral secara
keseluruhan.
3.
Urutan
dalam tingkatan itu adalah tidak varian, yaitu pergerakan dalam tingkatan
perkembangan moral selalu kedepan dan tidak pernah mundur.[7]
Kohlberg sebagai penerus piaget menemukan
tiga tingkat perkembangan moral yang dilalui oleh manusia, masing-masing
tingkat memiliki dua tahap.[8] Adapun
tingkat perkembangan moral tersebut
adalah Tingkat Pra-Konvensional, Konvensional dan Pasca Konvensional.
1.
Tingkat Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada
pada anak-anak (usia 4-10 tahun). Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal
dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu
memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan
sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang
yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin
salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai
sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku
yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap
dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap
bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, Dalam tahap
dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
besifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat
pra-konvensional adalah semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri
sendiri saja. Tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain. perpektif dunia dilihat
sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2.
Tingkat Konvensional
Tingkat Konvensional (Contional
Role Conformity) umumnya ada pada kalangan remaja (usia 10-13 tahun). Pada tahapan
ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan
pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap
ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki
masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan
persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi
seorang anak baik. untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosialnya. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan
dalam penalaran di tahap ini; “mereka bermaksud baik” mereka bukan lagi menghindari
hukuman, namun agar memperoleh persetujuan orang dewasa.
Dalam tahap empat, adalah memperhatikan hukum
dan peraturan. Anak
dan remaja memiliki sikaf pasti terhadap wewenang dan aturan dan hukum harus
ditaati oleh semua orang.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa
yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar
hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas
untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara
moralia salah, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3.
Tingkat Pasca Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip (pada usia 13 tahun keatas). Pada tingkat ini moral diterima demi
dirinya sendiri (Self Accepted Moral
Principle).. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah
dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini
membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku
pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang
sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah
penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang
tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolute. memang anda siapa membuat keputusan. kalau yang lain tidak? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku
yang dibuat individu. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan bagi orang
banyak. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas dan kompromi.
Maka pemerintahan yang demokratis tampak dalam tahap ini.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar
pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila
berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan
untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak
sosial dan tidak penting untuk tindakan moral. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang
saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil, seseorang
bertindak karena hal itu benar.
Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ia merasa kesulitan untuk menemukan
seseorang yang menggunakannya secara konsisten.
Tabel Perkembangan Moral Kohlberg
Tingkat
|
Tahap
|
Konsep Moral
|
Tingkat I
|
Moralitas prakonvensional (usia 4-10 tahun) |
1. Anak menentukan keburukan perilaku
berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut.
2. Perilaku baik dihubungkan dengan
penghindaran dari hukuman
|
Tahap 1: memperhatikan ketaatan dan hukum |
||
Tahap 2: memperhatikan pemuasan
kebutuhan |
1.
Perilaku
baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan
kebutuhan orang lain.
|
|
Tingkat II
|
Moralitas Konvensional (Usia 10-13 tahun) |
1.
Anak
dan remaja berprilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh
persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
2.
Perbuatan
baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi, ada perkembangan
kesadaran terhadap perlunya aturan.
|
Tahap 3: memperhatikan citra “anak
baik” |
||
Tahap 4: memperhatikan hukum dan
peraturan |
1.
Anak
dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan.
2. Hukum harus ditaati oleh semua
orang.
|
|
Tingkat III
|
Moralitas pasca konvensional (usia
13 tahun ke atas). |
1.
Remaja
dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan
dan patokan sosial.
2. Perubahan hokum dan aturan dapat
diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
3.
Pelanggaran
hukum dan aturan dapat terjadi karena alas an-alasan tertentu.
|
Tahap 5: memperhatikan hak
perseorangan. |
||
Tahap 6: memperhatikan
prinsip-prinsip etika |
1. Keputusan mengenai
perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral pribadi yang
bersumber dari hokum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan
kepentingan orang lain.
2. Keyakinan terhadap moral dan
pribadi dan nilai-nilai tetap melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan
dengan hokum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial. Contoh: seorang
suami yang tak beruang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa
istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia itu merupakan
kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
|
Secara praktis dengan adanya tahap-tahap perkembangan
memudahkan orang untuk memberikan stimulasi yang tepat untuk meningkatkan
penalaran seorang anak. Teori Kohlberg merupakan sebuah teori perkembangan
kognitif klasik, yang memberikan catatan tentang sifat yang integrated. Beberapa penelitian yang
mendukung teori Kohlberg tersebut diatas adalah antara lain penelitian Kohlberg
sendiri yang menemukan bahwa dengan meningkatnya usia, maka subjek juga
cenderung mencapai penalaran moral yang lebih tinggi.[9]
Selain daripada itu, teori yang dikemukakan Kohlberg tentang
perkembangan moral bukan didasarkan pada perkembangan kognitif, bukan tanpa kritik.
Gibbs sebagaimana dikutip Papalia menyebutkan bahwa pendekatan kognitif
terhadap penalaran moral kurang memberi perhatian pada nilai penting emosi.
Aktivitas moral tidak hanya dimotivasi oleh pertimbangan abstrak seperti
keadilan, tetapi juga oleh emosi seperti rasa empati, rasa bersalah, rasa
sedih, dan internalisasi norma proporsional.[10]
Selain hal tersebut diatas, yang menjadi tema penting yang
merupakan kritik keras terhadap teori perkembangan moral Kohlberg adalah Pemikiran
moral dan perilaku moral. Teori Kohlberg dikritik karena terlalu banyak
penekanan pada penalaran moral dan kurang memberi penekanan terhadap perilaku
moral. Penalaran moral terkadang dapat menjadi justifikasi dan perlindungan
bagi perilaku immoral. Penipu, koruptor dan pencuri mungkin mengetahui apa yang
benar, tetapi masih melakukan apa yang salah.
Menurut Gilligan, Kohlberg juga dipandang kurang
memperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan moral. Dia percaya bahwa
hal ini mungkin terjadi karena Kohlberg seorang laki-laki, karena kebanyakan
penelitiannya adalah dengan laki-laki daripada dengan perempuan, dank arena ia
menggunakan renspons laki-laki sebagai suatu model bagi teorinya.[11]
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
teori kepribadian manusia menurut Kohlberg erat kaitannya dengan perkembangan
moral kognitif, mulai anak-anak sampai dewasa.
Inti dari teori Kohlberg tersebut adalah tiga tingkat
perkembangan moral yaitu Tingkat Pra-Konvensional, Tingkat Konvensional dan
Pasca-Konvensional dan didalamnya ada enam tahapan-tahapan. Kohlberg
mengklasifikasikan perkembangan moral manusia yang selalu berubah sesuai dengan
tingkat usianya. Semakin tinggi usia seseorang, kemungkinan akan semakin tinggi
penalaran moralnya.
REFERENSI
Crapss, Robert W. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta:
Kanisius, 2000
Durkin, Kevin, Developmental Social Psychology, Massachussetts:
Blackweell Pubhlisher Inc, 1995
Friedman, Howard S.
Miriam W. Schustack, Kepribadian, Teori
Klasik dan Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006
Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Papalia, Diane E. et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar,
Jakarta: Kencana, 2008
R. L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York:
Praeger Publisher, 1980
Suryabrata,
Sumardi, Psikologi Kepribadian, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008
T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and
Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976
http://faculty.plts.edu/gpence/html/kohlberg.htm.
[1]Howard S. Friedman, Miriam W.
Schustack, Kepribadian, Teori Klasik dan
Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006, h. 1
[2] Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008, h. 3
[5] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. h. 75
[6] R.C. Sprinthall, Educational Psychology: A developmental
Approach, Boston: Mc Graw-Hill Company, 1995, h. 67-68
[7] T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and
Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976, h. 31-35
[8] Robert W. Crapss, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta:
Kanisius, 2000, h. 123
[9] Kevin Durkin, Developmental Social Psychology, Massachussetts:
Blackweell Pubhlisher Inc, 1995, h. 76
[10] Diane E. Papalia, et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar,
Jakarta: Kencana, 2008, h. 566
[11] R. L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York:
Praeger Publisher, 1980, h. 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar