Jumat, 17 Februari 2012

PENDEKATAN WILAYAH DALAM STUDI ISLAM


PENDEKATAN WILAYAH DALAM STUDI ISLAM

A.    Pendahuluan
Keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial.
            Salah satu tema yang menarik bagi para ilmuan pengkaji ilmu keislaman adalah dengan pendekatan studi, termasuk studi pendekatan wilayah yang Melirik pada perkembangan politik, sejarah dan budaya sangat dinamis.
Studi Wilayah sebagai sebuah disiplin imu mencoba memahami latar belakang budaya, cara hidup, cara pikir, dan ciri khas masing-masing wilayah/region, agar dapat bisa diambil sikap atau antisipasi, terutama di era globalisasi, yang telah meruntuhkan sekat-sekat kewilayahan.
            Maka dalam pembahasan makalah ini, kita akan melihat studi Islam dalam pendekatan wilayah di berbagai kawasan terutama basis-basis mayoritas muslim seperti di Timur Tengah dan Asia Tenggara yang didalamnya termasuk Indonesia yang merupakan kawasan dimana penduduknya mayoritas pemeluk Islam, dan juga sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar di Dunia. Semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih bagi khazanah keilmuan kita.
 
B.   Pengertian, Latar Belakang dan Perkembangan Studi Wilayah

            Studi wilayah (area studies) terdiri dari dua kata, yakni area dan studi. Area mengandung arti “region of the earth’s surfaces”,[1] artinya adalah: daerah permukaan bumi. area juga bermakna: luas, daerah kawasan setempat dan bidang.[2] Sedangkan studi  mengandung pengertian “devotion of time and thought to getting knowledge”,[3] artinya adalah pemanfaatan waktu dan pemikiran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Studi juga mengandung pengertian “something that attracts investigation”[4]  yakni sesuatu yang perlu untuk dikaji.
            Studies adalah bentuk jamak dari studi, kata ini menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan terhadap sebuah wilayah tidak hanya terbatas pada suatu bidang kajian, melainkan terdiri dari berbagai bidang. Secara terminologi studi wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah dimana masalah tersebut terjadi.[5]
            Setelah nabi Muhammad saw. wafat, dominasi Islam atas Jazirah Arab sudah sedemikian luas. Hal itu merupakan permulaan dari pencapaian peradaban Islam. Rencana penaklukkan yang direncakanan nabi Muhammad saw. dianggap merupakan wasiat yang harus dijalankan oleh para sahabat, maka adalah hal yang wajar bila ekspansi ini terus dijalankan oleh para sahabat sepeninggal beliau. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. dan Umar ra. wilayah Islam sudah mencapai Yaman, Oman, Bahrain, Iraq bagian Selatan, Persia, Syiria, Pantai Laut Tengah dan Mesir. Perluasan wilayah ini kemudian dilanjutkan oleh Utsman ra. hingga ke Sijistan, Khurasan, Azzerbijan, dan Armenia.
            Pada perkembangan berikutnya, tekanan Islam terhadap daerah-daerah Barat semakin intens. Sebuah peristiwa penting terjadi pada 751 dimana pasukan muslim berhasil menaklukkan semenanjung Iberia, Sisilia, dan Andalusia, bahkan penaklukkan tersebut berlanjut hingga Pyneress menuju daerah Prancis Selatan.[6]
Pasukan yang menaklukkan Andalusia didominasi oleh kaum muslimin, sehingga kekuatan muslimpun disadari oleh penganut agama Kristen yang berada di wilayah Barat.
            Pada tahun 1236 M, kekuatan gabungan gereja Spanyol mengambil alih kembali Cordova dan disusul dengan Sevilla pada tahun 1248 M. Granada dibawah kekuasaan Bani Ahmar dapat bertahan kurang lebih dua abad lamanya sebelum akhirnya juga jatuh.
            Sejak saat itu, serangan kaum Kristen untuk menaklukkan wilayah yang dikuasai oleh kaum muslimin semakin gencar. Dengan dilatar belakangi berbagai tujuan, mereka melakukan pelayaran-pelayaran ke berbagai belahan dunia untuk memperluas kekuasaan mereka.
            Serangkaian penaklukkan yang terjadi tidak hanya bertujuan, baik sengaja ataupun tidak, untuk menguasai wilayah dan aspek-aspek material saja, akan tetapi juga, serangkaian penaklukkan ini dibarengi dengan imperialisme kultural.
            Melaluai ekspansi politik dan kultural terhadap wilayah-wilayah Islam, maka kajian wilayah menjadi sebuah usaha yang terus digalakkan untuk memahami agama Islam.

C.    Dunia Islam Sebagai Kajian Studi Wilayah
A.    Islam di Indonesia.
Sejarah Islam di Indonesia, dinilai sangat rumit oleh sebahagian sejarawan. Kerumitan tersebut disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok Islam itu sendiri, sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini.
Nusantara merupakan Negara maritim yang penduduknya memiliki kemampuan mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan kawasan asia tenggara. Bahkan pada abad I Hijiriyah pedagang-pedagang muslim arab, Persia dan India telah ada di Indonesia untuk berdagang. Namun untuk menjadi “kampong-kampung” Islam di kawasan tersebut masih membutuhkan waktu yang relatif lama.[7]
Kerumitan lain adalah dalam menangani sumber-sumber sejarah dengan adanya kecenderungan tertentu di kalangan sejarawan atau ilmuan sosial yang mengkaji Islam di Indonesia, seperti yang ditegaskan oleh Roff bahwa sejak zaman kolonial hingga saat ini terdapat hasrat yang luar biasa di kalangan pengamat Barat secara konseptual untuk mengurangi peranan Islam dalam membentuk kebudayaan Indonesia.
Tentang masuknya Islam ke Indonesia ada tiga teori:[8]
  1. Teori yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab yang dikemukakan oleh Niemann (1861) menyatakan bahwa Islam dibawah oleh orang-orang Mesir yang bermadzhab Syafi’i seperti layaknya kaum mayoritas di nusantara.
  2. Teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari India yang dikemukakan oleh Pijnapel (1872) yang menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabarlah yang membawa ajaran Islam ke Indonesia.
  3. Teori yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia dari Benggali (Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Ia mengutip keterangan dari Tome Pires yang menyatakan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali.
Islam boleh jadi telah sampai di Indonesia sejak Abad ke-7/8 M, Akan tetapi sejauh menyangkut kedatangan Islam di indenesia terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli, mengenai tiga masalah pokok, tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.[9]
Tetapi untuk muncul sebagai kekuatan politik, ia memerlukan waktu hingga enam abad sampai terbentuknya kerajaan Islam di Sumatera pada abad ke-13 M. akan tetapi rumusan ini masih bersifat hipotetif. Belum sampai dua abad Islam tampil sebagai kekuatan politik di Nusantara,  datanglah kekuatan tandingan dari Barat yang berupa Imperialisme yang secara berangsur, sekalipun selalu mendapat perlawanan, ternyata berhasil mengurangi peranan Islam di nusantara.
Terlepas dari perbedaan para ahli sejarah dalam menentukan awal masuknya Islam ke Indonesia, Taufik Abdullah menyatakan bahwa dalam proses perjalanan Islam di bumi nusantara, Islam merupakan suatu dasar pembentukan tradisi kultural baru.[10]
Kebudayaan itu secara dramatis dimulai oleh Snouck Hurgronje dengan memisahkan adat lokal pada satu pihak dengan Islam pada pihak yang lain. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.
Agar Islam di masa depan tidak menjadi “menggapai dalam ketiadaan daya” maka kajian Islam yang mendasar dan strategis di Indonesia tidak dapat ditunda. Jika bangsa ini ingin “pembentukan kultural baru” maka harus didapatkan sebuah landasan intelektual yang kokoh. Dengan kata lain, kajian ke-Islaman di Indonesia, di samping mendalami ajaran substansi ajaran, pendekatan yang berorentasi ke masa depan merupakan kebutuhan mutlak secara iman dan akademik.
Memang sejarah berurusan dengan masa lalu, tapi masa lalu itu hendaknya dijadikan untuk kepentingan masa depan. Dengan cara ini diharapkan bahwa Islam tidak saja menjadi agama yang didominasi oleh ritual demi keshalehan pribadi, tetapi menjadi agama yang hidup dan menghidupkan, agama yang mampu memecahkan persoalan-pesoalan ke-manusiaan secara mendasar.

B.     Islam di Timur Tengah.
Masyarakat Islam dibangun diatas peradaban Timut Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental, yaitu asal-usul dan struktur sejarah yang telah berlangsung.[11]
Garis keturunan keluarga, kekerabatan, komunitas etnis terus berlanjut seperti semula sekalipun telah terjadi kesejarahan. Ekologi regional berlangsung dengan didasarkan pada komunitas petani dan perkotaan, dan ekonomi dijalankan diatas basis pemasaran dan pertukaran uang. Bentuk-bentuk dasar organisasi negara, termasuk administrasi birorasi, pola kehidupan keagamaan yang berlaku sebelumnya difokuskan kepada keyakinan yang bersifat universal dan transendental.
Perjalanan panjang Islam di Timur Tengah berlangsung sekitar 622 sampai 1002 M, yang berlangsung dalam tiga fase.[12]  Fase pertama adalah fase penciptaan sebuah komunitas baru yang bercorak Islam di Arabia sebagai hasil dari transformasi wilayah pemikiran dengan sebuah masyarakat kekerabatan yang telah berkembang sebelumnya menjadi sebuah tipe monotheistik Timur Tengah.
Fase ke-dua adalah fase penaklukkan Timur Tengah oleh masyarakat Arab Muslim yang baru terbentuk tersebut, dan mendorong kelahiran sebuah imperium dan kebudayaan Islam (selama periode ke-khalifahan yang pertama sampai tahun 945 M).
Fase ketiga adalah fase kesultanan (945-1200 M). pada fase pola dasar kultural dan institusional dari era khilafah berubah menjadi pola-pola negara dan institusi Islam.
Dalam fase pertama, dapat difahami bahwa fase tersebut merupakan fase kelahiran Islam pertama dalam masyarakat ke-sukuan. Pada fase ke-dua adalah memandang Islam sebagaimana ia menjadi agama dari sebuah negara kerjaan dan kalangan elit perkotaan. Sedangkan fase ke-tiga, nilai-nilai Islam ternyata telah mengubah mayoritas masyarakat Timur Tengah.
Penyatuan beberapa wilayah seperti bagian Sasania dan Bizantium di Timur Tengah menjadi sebuah pemerintahan, beberapa halangan politis dan strategis perdagangan menjadi hilang, dan sebuah fondasi utama untuk kebangkitan perdagangan telah terhampar.
Selanjutnya sungai Eufrat yang membatasi antara Persia dan wilayah Bizntium telah musnah dan Transxonia untuk pertamakalinya dalam sejarah disatukan dalam imperium Timut Tengah. Dunia perdagangan semakin maju mengilhami ekspansi Arab ke Asia Tengah dan India, da pengembangan kota-kota di Syiria utara, Iran, Iraq, Basra dan belakangan Baghdad menjadi pusat perdagangan dunia.[13]
Arab Saudi yang merupakan tempat tumbuhnya Islam pertama kali, gejolak politik yang terjadi selalu sejalan dengan perkembangan keislaman di kawasan ini. Sa’udiyyun (keuarga sa’ud) yang menjadi nenek moyang keluarga Sa’udiyyan yang berkuasa sekarang telah berdiri sejak 1446 M dan menetap di Wadi Hanifah.
Setelah melalui tujuh generasi, Sa’ud ibnu Mukram memerintah al-Dariyah. Peletak dasar keamiran bagi keluarga Sa’udiyyah adalah anaknya yang bernama Sa’ud Ibnu Muhammmad Ibnu Mukran (1724-1765 M). Oleh karena itu tempat mereka setelah berkembangnya disebut al-Dar’iyyah.[14] Setelah beberapa saat, kekuasaan mereka semakin berkembang, maka inilah yang menjadi cikal bakal kerajaan Arab Saudi yang ada sekarang.
Sosok Muhammad ibnu Wahab yang dikenal memiliki pemikiran yang berpengaruh di Saudi Arabia sampai saat ini, awalnya ia pergi ke Basrah, al-Ahsa, Huramailah dan Uyainah. Disetiap kota itu pula ia selalu mendapat cacian hingga akhirnya ia pergi ke al-Dar’iyyah yang kemudian ia medapatkan sambutan sejumlah orang, termasuk amirnya ketika itu Muhammad Ibnu Sa’ud Ibnu Muqran II. Disinilah Muhammad Ibnu Abdul wahab menyampaikan dakwahnya tentang hakikat tauhid.


Sepintas pemikiran Muhammad Ibnu Abdul Wahab dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah, yaitu sebagai berikut:
1.      Pemahaman terhadap Al-Kitab dan Al-Sunnah yang dipahami berdasarkan metodologi Salaf as-Shalih. Ia berpandangan bahwa Al-Kitab dan Al-Sunnah bukan hanya sekedar berita saja sebagaimana diperkirakan orang-orang dari ahli kalam, hadis, fiqih, dan tasauf tetapi sebagai dalil dan petunjuk jalan bagi makhluk dan dalil yang tegas bagi dasar-dasar agama.
2.      Ketauhidan sangat diperhatikan meliputi zat, sifat dan ibadah makhluk terhadap tuhan, berupa an la na’buda Allah wa lanusyrika bihi siwahu. Oleh karena itu, doa merupakan bagian dari ibadah yang tidak boleh meminta kepada sesame makhluk yang sudah mati.
3.      Rasul Allah Saw tidak melebih-lebihkan, tetapi cukup sebagai petunjuk saja. Dibolehkan menziarahi kuburnya, tetapi tidak boleh untuk meminta-minta.[15]

C.    Islam di Turki.
a.      Penyebaran Bangsa Turki.
Turki merupakan wilayah kebudayaan Islam yang sangat luas dan beraneka ragam yang meliputi banyak etnik dan wilayah termasuk memainkan berbagai variasi lokal yang sangat menonjol, terutama di wilayah-wiayah eropa yang kelak meninggalkan jejak sejarah etnik dan agama yang sangat panjang.[16]  
Namun jika melacak pada pada proses pembentukan awal sejarah kebudayaan Turki, tradisi Persia adalah bagian terpenting yang harus dibicarakan. Komunikasi antara orang-orang Turki dengan Persia telah terjadi sejak zaman Sassania, terutama dengan bangsa Iran sebagai wilayah tetangganyanya dan tampaknya hampir tidak mungkin kebudayaan Islam Turki muncul dalam panggung sejarah tanpa ditopang dan diakumulasi oleh Tradisi Islam Persia, terutama pada priode pertengahan dan priode-priode akhir masa kekuasaan Abbasiyah.
b.      Islamisasi Bangsa Turki.
Kontak mereka dengan dunia Islam sebenarnya telah terbentuk sejak abad ke-7 M, ketika penaklukan-penaklukan orang Arab terhadap wilayah-wilayah Asia Tengah khususnya Transoxania, terutama saat penaklukan wilayah-wilayah pegunungan pamir dan T’ien-Shan. Saat tentara-tentara Arab melewati Kaukasus, telah terjalin komunikasi terutama dengan orang-orang turki Khazars dilembah Volga dan banyak diantara mereka menerima Islam secara damai.[17]
Islamisasi selanjutnya diteruskan oleh para sufi hingga abad ke-16 M dimana orang-orang Turki Eresia yang semula penganut Samanisme, Budhisme, Maniceanisme bahkan Nasrani, seluruhnya akhirnya menjadi komponen penting bagi dunia Islam.
Sebelum era modernisasi yang digulirkan oleh Ataturk, Turki dalam waktu yang relative lama berada dibawah kekuasaan salah satu Kekhalifahan terbesar dalam Islam yaitu Daulah Utsmaniyah. Selama berates tahun mereka menjadi bangsa yang terkemuka di Duni Islam, sehingga ini menandakan sebuah indikasi bahwa betapa pentingnya Islam dalam kehidupan nasional rakyat Turki. Secara praktis, setiap orang yangbertempat tinggal di Turki adalah orang Turki, tetapi secara kebudayaan orang Turki adalah hanya orang Muslim.[18]

c.       Pemikiran ke-Islaman di Turki.
Jika berbicara Turki memang nyaris tidak bias dipisahkan dari sosok Ataturk. Sejak terpilih sebagai Presiden Pertama Republik Turki, pasca tumbangnya khalifah Utsmaniyah, Mustafa Kemal Ataturk menjadikan agama hanya sebagai kekuatan moral dan bukan sebagai kekuatan politik.[19] Perubahan arah politik inilah yang kelak menjadikan Islam di Turki sebagai Negara yang berpenduduk Muslim, tetapi hidup dengan cara modern.
Mustafa Kemal membuat sejumlah kebijakan yang intinya berupaya meningkatkan masyarakat Turki pada masyarakat kontemporer modern diantara kebijakan itu adalah:
1.      Undang-undang tentang unifikasi dan sekularisasi pendidikan pada tanggal 3 Maret 1924,
2.      Undang-undang tentang kopiyah tanggal 25 November 1925,
3.      Undang-undang tentang pemberhentian petugas jamaah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman tanggal 30 November 1925,
4.      Peraturan Sipi tentang perkawinan, Tanggal 17 Februari 1926,
5.      Undang-undang penghapusan huruf latin untuk abjad Turki dan penghapusan tuisan arab, Tangga 1 November 1928, dan
6.      Undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli, Tanggal 13 Desember 1934.[20]
Amin Abdullah[21] mengatakan bahwa hingga saat sekarang ini, tidak hanya partai politik yang berbau agama, tetapi juga organisasi-organisasi keagamaan masih dilarang di Turki. Namun anehnya, di negara sekuler itu mereka mempunyai “dianet isleri” (kantor urusan agama) yang bernaung dibawah menteri negara.
Dengan kondisi seperti ini, para generasi muda Turki merasa bosan dan tidak puas, akhirnya mereka beralih menggunakan “media cetak” sebagai sarana lalu-lintas dan penyampaian pesan kepada masyarakat.
Muncul beberapa penerbitan keagamaan yang memiliki ciri-ciri arus pemikiran yang berbeda, seperti:
a.       Penerbitan yang disponsori Dianet Islery yang memiliki ciri Islam negara.
b.      Penerbitan yang disponsori tarekat kuno.
c.       Penerbitan yang disponsori tarekat baru.[22]
d.      Penerbitan yang disponsori oleh kaum fundamentalis.

D.    Islam di Amerika
Sebuah kajian yang sangat menarik jika membahas bagaimana sebuah agama minoritas disebuah Negara mempertahankan integritas dan keyakinannya. Di Amerika saat ini, Islam bagi sebagian besar rakyat amerika masih dianggap sebagai ancaman, rentetan peristiwa yang melibatkan para militan muslim selalu dianggap sebagai permusuhan yang memiliki unsure historis yang sangat panjang.
Maka saat ini, ummat Islam di amerika masih mengalami diskriminasi keyakinan, selama berabad-abad non-muslim mengkritik Muhammad dan masih saja bermunculan sampai sekarang, mulai dengan membuat karikatur yang berbau pelecehan, sampai pada tindakan-tindakan “konyol” yang justru menyudutkan mereka sendiri di mata dunia.
Pada Juni 1998 AT&T Worldnet Service, penyedia jasa internet langsung terbesar di Amerika Serikat menhapus sebuah situs web yang menyebut Muhammad sebagai orang munafik yang cabul yang jelas-jelas bukan pesuruh Tuhan.[23]
Disebagian kota-kota di Amerika terjadi kontroversi apakah panggilan salat (azan) boleh dilakukan atau malah dianggap mengganggu lingkungan tempat masjid berada, tidak seperti di Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim leluasa mengumandangkan azan dengan pengeras suara.
Berbagai kelompok mengatasi masalah ini dengan cara yang beragam, kebanyakan di masjid-masjid di Amerika, panggilan azan dilakukan di dalam ruangan shalat dan bukan diluar. Yang berfungsi sebagai tanda dimulainya ritual tersebut.[24]

E.     Signifikansi dan Konstribusi
            Berawal dari pembicaraan Munawwir Sadjali dengan Fazlurrahman dan Gigma[25] bahwa keduanya menekankan tentang kepincangan dan ketidaklengkapan studi Islam saat ini, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara. Satu sisi, banyak ahli ke-Islaman tetapi tidak tahu tentang Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya, sebaliknya banyak pakar ahli wilayah tapi tidak mengetahui tentang Islam.
            Kelemahan lain adalah banyak ahli yang berasal dari Barat yang melihat Islam di kawasan Asia Tenggara dan yang lainnya dengan menggunakan tolak ukur yang berasal dari Barat, sehingga dalam kesimpulan penelitiannya tidak selalu tepat.
            Konstribusi studi wilayah ini memberikan suatu upaya untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkannya sesuai dengan rumusan Islam, disamping juga menopang bangunan suatu bangsa. Karena Islam memiliki daya tarik luar biasa sebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya dikaji. Terbukti, sejak lama Islam menjadi objek studi, tidak saja di kalangan muslim tetapi juga di kalangan non muslim, untuk tujuan dan kepentingan beragam. Titik perhatian studi Islam juga beragam, baik pada tingkat Islam sebagai sistem keyakinan maupun Islam sebagai suatu sistem sosial.
            Maka sangat diperlukan saat ini sebuah kajian yang komprehensif tentang studi Islam dengan pendekatan wilayah. Agar ummat islam maupun non-musim dapat melihatnya secara ril dan meniai secara objektif. Walaupun telah banyak yang mencoba mengkaji Isam dengan pendekatan wilayah, namun masih saja sulit menilai kualitas daripada hasil kajian itu, karena masih saja selalu ada kepentingan yang menopangnya.



F.     Penutup
            Islam berkembang melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan kultur yang berbeda melihat dimana Islam itu berkembang. Perbedaan latar belakang sejarah dan budaya mempunyai ukuran yang sama tentang ke-Islaman. Di Timur Tengah, tempat lahir dan tumbuhnya Islam pertama kali. Dalam perjalan historinya Islam dikembangkan dengan ekspansi kewilayah-wilayah yang ada dikawasan tersebut. sedangkan di Indonesia sebagai mayoritas berpenduduk muslim terbanyak didunia saat ini, isam masuk ke kawasan ini tidak dengan ekspansi, malah dengan cara yang sangat lunak (aktifitas perdagangan dan sufi atau Tariqat) .
Maka wajar saja jika pandangan agama dapat berubah dan dibenarkan berbeda karena perbedaan waktu, zaman, lingkungan, situasi dan sasaran serta tradisi yang sesuai dengan suatu kaidah, hal ini merupakan sesuatu yang lazim.
            Studi ke-Islaman di wilayah-wilayah secara objektiv akan menghasilkan pandangan dan aplikasi Islam yang benar dan tidak harus sama dengan apa yang dilakukan dan diterapkan di wilayah lainnya. Oleh karena itu, sangat didambakan untuk munculnya pusat-pusat studi Islam untuk dapat menyahuti persoalan yang terus berkembang di masa mendatang.


REFERENSI

Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam. Jakarta: LP3S, 1987.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan)
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Fananie, Peny Zainuddin, Studi Islam Asia Tenggara. Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.
Hornby, A. S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1986.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I.  Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999.
Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1977.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Roff, William R., Islam of Seculer? Some Reflection on Studies of Islam and Society in Southeast Asia. Arckipel, 1985.
Salim, Peter, Webster’s New World Dictionary . Jakarta: Modern English Press, t.th.
Smith, I. Jane,  Islam di Amerika, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
Sou’yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, entri dalam Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Thahir, Ajid, Perkembnagan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafinda Persada, 2004
Thahir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Isam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta:
Ya’qub,  Ismail, Orientaslime dan Orientalisten. Surabaya: CV. Faizan, 1970.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada..1998.







[1] A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1986), h. 40.
[2] Peter Salim, Webster’s New World Dictionary (Jakarta: Modern English Press, t.th) h. 31.
[3] Hornby, Oxford. H. 859.
[4] Ibd.
[5] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 142.
[6] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1977) h. 10.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010 cet ke 20, h. 191 
[8] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989) h. 12.
[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998) h. 24.
[10] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam (Jakarta: LP3S, 1987) h. 241.
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999) h. 3.
[12] Ibid. h. 14.
[13] Ibid. h. 68.
[14] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafinda Persada, 2004, h. 230
[15] Ibid, 233
[16] Ajid Thahir, Studi Kawasan Dunia Isam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2009, h. 223
[17] Ibid, h, 224
[18] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, h. 218
[19] Jane I. Smith, Islam di Amerika, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 65
[20] Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban, h. 224-225
[21] Untuk kajian lebih lanjut baca Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 183.
[22] Ibid.  h. 184.
[23] Jane I. Smith, Islam di Amerika, h. 5
[24] Ibid, h. 18
[25] Peny Zainuddin Fananie, Studi Islam Asia Tenggara  (Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999) h. xiv.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar