Jumat, 17 Februari 2012

EPISTEMOLOGI ISLAM


A.    Pendahuluan
Salah satu keistimewaan Islam adalah sikapnya terhadap akal dan menghargai dinamikanya dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Manusia yang diciptakan oleh Allah swt mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Manusia diciptakan begitu sempurna, yaitu dilengkapi dengan daya berpikir, dan dengan daya itu pula manusia dapat meningkatkan kualitas kehidupannya. Berpikir adalah aktivitas berdialog dengan diri sendiri dan dengan manifestasinya, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari kualitas dan lain sebagainya.
Pikiran mempunyai potensi untuk berkembang,merenung, menganalisa dan menyingkap misteri yang tersembunyi tanpa adanya ikatan yang membelenggu, sesuai dengan apa yang diinginkan. Di samping ketinggian ajaran Islam yang datang dari sisi Allah dan apa-apa yang datang dari sisi Allah selalu benar. Maka sesungguhnya, penghargaan Islam terhadap akal, juga merupakan salah satu aspek yang menjadikan Islam itu benar mempunyai ketinggian.
Oleh karena itu, pengetahuan adalah merupakan salah satu tujuan akal, meskipun bukan tujuan paling mendasar. Akibat dari kerja akal, akhirnya manusia tidak pernah berhenti untuk berpikir dalam menginterprestasikan suatu objek, sehingga berdirilah arus-arus filsafat yang berbeda-beda juga.
Agar manusia tidak sesat menggunakan energi akalnya dalam memperoleh pengetahuan, maka Allah swt menurunkan wahyu sebagai sumber yang paling valid untuk dijadikan sebagai penjaga dan pengarah kebebasan akal. Sehingga meskipun manusia berpikir luar biasa, namun dia akan tetap kembali kepada pengakuan kekuasaan Tuhan.
Upaya untuk memperoleh pengetahuan disebut dengan epistemology. Kata epistemologi berasal dari kata bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti knowledge atau pengetahuan dan logy yang berarti theory.[1] Dengan demikian epistemologi berarti teori pengetahuan ( theory of knowledge ). Secara etimologi, epistemologi dimaksudkan sebagai filsafat pengetahuan yang berusaha mencari, mempelajari, melacak dan menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta pertanggungjawabannya atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
Lantas dalam memperoleh pengetahuan tersebut, berbagai refleksi epistemologi telah mengkaji hakekat pengetahuan manusia. Namun , agaknya ada sebuah pertanyaan praepistemik yang mendasar, yaitu mengenai hubungan antara pengetahuan dan pemilik penetahuan yang akut dan seakan tak pernah terselesaikan. Meskipun telah bermunculan bermacam-macam teori-teori filsafat, seperti teori filsafat fenomenologi Husserl.[2]
Oleh karena itu, menurut penulis, sangat perlu rasanya untuk mendiskusikan hal ini, agar epistemologi Barat tidak membuat distorsi[3] terhadap pemahaman kita tentang epistemologi Islam. Mengapa demikian, karena sebenarnya, ada perbedaan yang cukup fundamental antara teori ilmu pengetahuan Barat dengan teori ilmu pengetahuan Islam. Perbedaan itu perlu dijelaskan, supaya tidak terjadi kekaburan dan kesalahpahaman yang mendalam terhadap keduanya.
Lantas, apa yang dimaksud dengan epistemologi Islam dan prinsip-prinsip dasarnya, itulah yang menjadi tema sentral pembahasan makalah ini. Dengan mengandalkan kapasitas keilmuan yang masih ‘dangkal’ dan didukung literatur yang sangat terbatas, penulis akan mencoba membahasnya lebih lanjut.
Namun untuk menjelaskan obyek  pembahasan lebih lanjut, maka bahagian pendahuluan ini akan segera diikuti dengan pembicaraan tentang defenisi Islam ( kajian ontologis ), sumber-sumber pengetahuan, cara mempelajari Islam (kajian epistemologi), kriteria kebesaran dalam epistemologi Islam, kemudian selanjutnya peran dan fungsi pengetahuan dalam Islam ( kajian aksiologi ).

B.Defenisi Islam Ditinjau Dari Segi Ontologi
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani, yaitu “on” yang artinya “being” dan “logos” yang artinya “teori”. Jadi ontologi adalah teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Ontologi atau disebut juga metafisika umum adalah bagian dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat adanya dari segala sesuatu wujud yang ada.
Kalau kita perhatikan kata Islam, maka sesungguhnya Islam itu berasal dari bahasa arab, yaitu dari akar kata aslaama-yusliimu-islaaman yang berarti selamat, damai, sejahtera, patuh dan tunduk.[4] Muhammad Arkoun dalam buku Rethinking Islam menyebutkan bahwa kata Islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri kepada Tuhan”.[5]
Di dalam buku Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Harun Nasution, menyebutkan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai Rasul.[6] Dalam defenisi tersebut di atas, disebut agama dan wahyu sebagai dua kata kunci bagi kita untuk mengetahui apa itu Islam ?
Dari istilah Islam yang telah dipaparkan di atas, maka sesungguhnya Islam itu adalah sikap religius seseorang yang ditunjukkan melalui ketundukan, kepatuhan dan ketaatan dalam menjalankan perintah Allah. Maka orang yang tunduk damn taat pada aturan Allah, pada akhirnya akan mencapai keselamatan disisi Allah, itulah Islam yang sesungguhnya.[7]
Agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga menjelaskan maksudnya, tetapi sangat sulit memberikan batasan (defenisi) yang tepat, lebih-lebih bagi para pakar. Hal ini disebabkan untuk menjelaskan sesuatu secara ilmiah mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefenisikan dan mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Tiga alasan lain yang diungkapkan oleh Mukti Ali tentang kesulitan untuk memberi batasan (defenisi) agama, yaitu : Pertama, pengalaman agama adalah soal batini, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, selalu ada emosi dan perasaan yang mengikat setiap pembahasan tentang agama. Ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan defenisi tersebut.[8] Mahmud Syaltut menyatakan bahwa, “Agama adalah ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia”.[9]
Sementara itu, din yang didalam bahasa Arab adalah agama ternyata memiliki defenisi yang lebih luas. Setiap kata yang terdiri huruf dal-ya-nun dalam bahasa Arab, mengandung pengertian hubungan dua pihak. Seperti kata dain yang berarti hutang, demikian juga dengan kata dana atau yadinu yang artinya menghukum, yang menunjukkan adanya hakim dan terdakwa. Kata din sendiri mengandung makna hubungan antara dua pihak, di mana pihak pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pihak yang kedua. Jika arti kata din seperti tersebut di atas, kemungkinan hubungan yang terjadi ada tiga pola relasi. Pertama, hubungan manusia dengan Allah. Kedua, hubungan manusia dengan manusia dan Ketiga, hubungan manusia dengan alam.[10]
Didalam Alquran disebutkan :
إن الدين عندالله الإسلم........      ( آل عمران :    )
Artinya : sesungguhnya agama ( yang diridhai ) disisi Allah hanyalah Islam……”.        (QS. Ali ‘Imran : 19 ). 
Disebutkan juga,
ومن يبتغ غيرالإسلم دينا فلن يقبل منه وهوفى الأخرة من الخسرين ( آل عمران :    )  
Artinya : “Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima ( agama itu ) dari padanya, dan di akhirat termasuk orang- orang yang rugi”. ( QS. Ali ‘Imran : 85 ).
Agama Islam adalah agama yang benar, yang memiliki hanya satu tujuan penghambaan kepada Allah, satu ketaatan hanya kepada Allah dan takut kepada hukuman Allah sebagai pertanggungjawaban terhadap apa yang kita kerjakan selama di dunia.
Wahyu dalam keyakinan umat Islam adalah sabda Tuhan atau perkataan Tuhan yang disampaikan melalui perantara sesuai kehendak-Nya. Dijelaskan di dalam Alquran bahwa wahyu terbagi tiga, yaitu : Pertama, pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, pengalaman dan penglihatan di dalam keadaan tidur atau keadaan trance . Ketiga, diberikan melalui utusan atau Malaikat yaitu Jibril dalam bentuk kata-kata.[11] Keseluruhan wahyu tersebut terkandung di dalam Alquran. Maka , hanya bahasa Arab yang tersebut dalam Alquran yang diakui sebagai wahyu. Pengertian ini telah membedakan Islam dan agama lainnya, khususnya Kristen dalam pengertian tentang wahyu. Kristen menyebutkan bahwa teks Injil bukan wahyu, wahyu menjelma menjadi Jesus.[12]
Maka apa itu Islam, sedikit banyak telah tergambar di dalam pikiran kita, ternyata tidak hanya sekedar defenisi umum yang kita ketahui saja. Tetapi, lebih luas Islam merupakan petunjuk atau tuntunan kebenaran di atas segala kebenaran yang menyangkut seluruh aspek kehidupan kita.
هوالذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره،على الدين كله ولوكره المشركون ( التوبة :    )
Artinya : “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya ( dengan membawa ) petunjuk (Alquran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. ( QS. At-Taubah : 33 ).

C. Sumber-Sumber Pengetahuan
            Sumber artinya tempat asal digalinya sesuatu. Jika disebut sumber air, maksudnya adalah tempat asal air mengalir atau mata air. Maka ungkapan yang menyebutkan sumber pengetahuan bermakna sebagai sumber asal dari satu pengetahuan tersebut.[13] Sumber harus dapat berdiri sendiri, baik dari sisi asal-usul dan kemurnian nilai-nilai yang dikandungnya yang dapat diterjemahkan menjadi petunjuk-petunjuk praktis untuk dipraktekkan.
            Dalam epistemologi ilmu, disebutkan ada empat sumber pengetahuan manusia :
1.      Empirisme, merupakan aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, observasi atau pengindraan.
2.      Rasionalisme, menyebutkan bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya ( pikiran manusia ).
3.      Intuisionisme, merupakan metode yang tidak terikat pada penalaran tetapi kepada intuisi manusia.
4.      Wahyu Allah, adalah pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada para Nabi-Nya yang terkandung di dalam kitab suci seperti : Taurat, Injil dan Alquran.[14]
Disebutkan bahwa kemampuan dan kelebihan yang dimiliki manusia dapat menjadi sumber pengetahuan, diantaranya : pengalaman dan pengindraan, akal-pikiran manusia dan penalaran manusia. Sumber pengetahuan lain adalah yang bersumber dari Tuhan, yang tertuang dalam kitab suci dan kumpulan wahyu-wahyu lainnya.
 Alquran adalah kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Alquran sebagai sumber pengetahuan yang datang dari Tuhan, bukanlah dalam pengertian Alquran memuat segala persoalan yang ada, akan tetapi Alquran memuat nilai-nilai dari wahyu Allah yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi, arahan dan penuntun dalam menjalani kehidupan di dunia. Nilai-nilai inilah yang perlu diterjemahkan agar dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.[15]
وأنزلنآ إليك الكتب باالحق مصدقا لما بين يديه من الكتب ومهيمنا عليه فا حكم بينهم بمآ أنزل الله ولا تتبع أهوآء هم عما جآءك من الحق ( المائدة :    )
Artinya : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab ( yang diturunkan sebelumnya ) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…”. ( QS. Al-Maidah : 48 ).
            Sunnah merupakan sumber pengetahuan berikutnya setelah Alquran. Sunnah yaitu, perkataan, perbuatan dan persetujuan yang dilakukan Nabi Muhammad saw dan dipersaksikan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menafsirkan Alquran yang pada umumnya bersifat global, yang bersifat umum, yang bersifat mutlak, yang menghendaki pembatasan. Kami tegaskan bahwa sebagai sumber pengetahuan setelah Alquran, Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan Alquran.
            Selanjutnya, sumber pengetahuan itu adalah apa yang ada pada diri manusia sendiri dengan latar belakang peristiwa hidup, diantaranya seperti pengalaman, observasi, akal-pikiran, penalaran dan intuisi. Sumber pengetahuan ini nantinya akan melahirkan keberagaman ilmu pengetahuan seperti, ilmu pengetahuan social, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia.

D. Cara Mempelajari Islam Ditinjau Dari Segi Epistemologi
Setiap objek kajian keilmuan menuntut suatu metode yang sesuai dengan objek ilmu tersebut, pengetahuan dapat diperoleh melalui metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu  merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang disusun secara konsisten dan kebenarannya  telah teruji secara empiris.
Ilmu yang dikembangkan dalam Islam menggunakan metode ijtihad yaitu menggunakan segenap daya akal dan potensi manusiawi lainnya untuk mencari kebenaran dan mengambil kebijaksanaan dengan bimbingan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw, sehingga melahirkan ide-ide fungsional yang gemilang.
Pendekatan metodologis yang dipergunakan dalam mempelajari Islam adalah pendekatan religius, pendekatan filosofis, pendekatan sosiokultural dan pendekatan scientific.
Metode yang digunakan dalam mempelajari Islam adalah :
a.       Penggunaan akal pikiran ( rasio ) untuk menelaah dan mempelajari gejala kehidupan manusia dan alam sekitarnya.
b. Mengamalkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
c.       Pemberian suasana ( situasional ) sesuai dengan tempat dan waktu tertentu.
d.      Mendemonstrasikan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, seperti pelaksanaan shalat.
e.       Metode mendidik dengan cara bercerita.
f.        Metode bimbingan dan penyuluhan.
g.      Metode pemberian contoh dan teladan.
h.      Metode Tanya jawab.
i.        Metode pemberian perumpamaan ( imtsal ).
j.        Metode targhib dan tarhib ( memberikan dorongan dan motivasi untuk berbuat kebaikan ).
k.       Dan lain-lain.  
Metode mempelajari Islam yang disampaikan oleh para filosof Muslim, sangat jauh berbeda dengan metodologi yang ditawarkan oleh filosof Barat. Seperti yang disampaikan oleh Ziaduddin Sardar, sebagaimana dikutip oleh Kartanegara, bahwa dalam mengkaji ilmu, filosof Barat hanya menggunakan satu metode saja yaitu metode observasi. Sedangkan para filosof Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan hierki objek-objek, yaitu : 1). Metode observasi atau yang sering disebut dengan bayani. 2). Metode logis atau burhani, 3). Metode intuitif atau irfani, yang masing-masing bersumber pada indra, akal dan hati.[16]

E. Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi Islam
            Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode serta kebenaran pengetahuan.
            Kebenaran selalu berkaitan dengan dimensi keilmuan yang didalamnya tersusun nilai-nilai benar dan salah, kebenaran dalam wacana ilmu merupakan ketepatan dan kesesuaian antara metode dan hukum-hukum dari objek kajian ilmu tersebut. Pada hakekatnya kebenaran itu bersifat relatif dan sementara, karena kajian ilmu selalu dipengaruhi oleh pilihan dari berbagai dimensinya baik dari ruang dan waktu yang selalu dipengaruhi oleh pilihan dari berbagai dimensinya baik dari ruang dan waktu yang selalu berubah-ubah berdasarkan realitas kebenaran itu sendiri.
            Oleh karena itu, dalam Islam sebagaimana yang telah disampaikan Burhani, bahwa tidak ada satu pun karya manusia yang bersifat benar, karena ia bersifat relatif. Tuhanlah yang menjadi kebenaran mutlak, Tuhan adalah kebenaran hakiki, meminjam istilah jacues derrida, “ia difference”, artinya manusia mesti sadar akan kebesaran Allah.[17]
            Selanjutnya bagaimana kriteria kebenaran dalam epistemologi Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dan untuk menentukan kepercayaan tentang apa yang disebut, para filosof menentukan tentang tiga teori untuk menguji kebenaran, yaitu :
1.      teori koresponden, bagaimana yang diajukan oleh kaum realis dan materialis. Kebenaran yang diungkapkan sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Contoh : Medan adalah Ibukota propinsi Sumatera Utara. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan fakta.
2.      teori konsistensi, sebagaimana yang diajukan oleh kaum idealis. Kebenaran ditegakkan atas putusan yang baru telah diketahui berhubungan dengan kebenaran sebelumnya. Contoh : Soeharto pernah menjadi Presiden RI. Mengetahui bahwa pernyataan itu benar.
3.      teori pragmatis, sebagaimana yang diajukan oleh kaum pragmatis dengan prinsip bahwa kebenaran adalah ada manfaatnya. Untuk membuktikan kebenaran, teori ini mengajukan tiga pendekatan. Pertama, yang benar adalah yang memuaskan, Kedua, yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, Ketiga, yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan biologis.[18]

F. Peran Dan Fungsi Pengetahuan Dalam Islam Ditinjau Dari Segi Aksiologi
            Aksiologi berasal dari perkataan Yunani “axios” yang artinya nilai dan “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi adalah suatu cabang filsafat yang pemikirannya tentang nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Allah swt, misalnya nilai moral, nilai agama atau nilai estetika ( keindahan ). Aksiologi mengandung pengertian yang lebih luas dari etika.
            Menurut Jujun ( 2003 ), aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaaan pengetahuian yang diperoleh, dalam hal ini kegunaaan dari pengetahuan dalam Islam itu sendiri. Ada tiga bentuk nilai dalam aksiologi yaitu nilai yang merupakan kata benda abstrak, nilai yang merupakan kata konkrit dan nilai yang merupakan kata kerja dalam ekspresi nilai, memberi nilai dan dinilai.
Jika kita berbicara mengenai peran dan fungsi pengetahuan, maka sebenarnya sama halnya kita berbicara mengenai manfaat atau tujuan dari sesuatu kegiatan yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, perlu kiranya kita pahami, bahwa setiap orang tidak akan mau melakukan sesuatu hal apabila tidak ada tujuan, target ataupun manfaat yang bisa diambil dari kegiatan tersebut. Demikian halnya dengan apa yang dilakukan oleh para filosof, baik filosof Muslim maupun filosof Barat, tentu ada tujuan yang mereka lakukan, paling tidak tujuannya untuk melahirkan ilmu pengetahuan.
Lantas pertanyaannya adalah, untuk apakah pengetahuan itu ? sesungguhnya telah terjadi perdebatan panjang di antara ulama dan filosof tentang tujuan ilmu pengetahuan. Sebahagian pendapat bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, sehingga timbullah ungkapan “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan”. Sebagian lagi cenderung mengatakan bahwa pengetahuan bertujuan untuk menjadi alat dalam menambah kesenangan manusia dalam kehidupan yang terbatas di muka bumi ini.
Sedangkan sebagian lagi cenderung menjadikan pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.[19]
            Menurut Akl-Attas, ilmu pengetahuan dikatakan bermanfaat apabila :
1.      Mendekatkan pada kebenaran Allah, bukan menjauhkannya.
2.      Dapat membantu umat dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.
3.      Dapat memberi pedoman bagi sesama.
4.      Dapat memberikan solusi.[20]
            Berdasarkan tujuan akhir dari pengetahuan dalam Islam yaitu terwujudnya kepribadian muslim yang paripurna dalam mengembangkan kehidupan dunia dan akhirat dengan landasan iman dan taqwa kepada Allah swt. Maka ada beberapa kegunaan pengetahuan dalam Islam yaitu :
1.      Dapat mengembangkan dan meningkatkan iman sehingga fungsinya benar-benar sebagai kekuatan pendorong ke arah kebahagiaaan.
2.      Dapat mengembangkan kemampuan manusia dalam mempergunakan akal dan kecerdasan untuk menganalisa hal-hal yang berada di balik kenyataan alam yang tampak dan untuk mengungkapkan perbedaan tentang yang baik dan yang buruk atau yang hak dan yang bathil.
3.      Dapat mengembangkan potensi manusia untuk berakhlak mulia dan mempunyai kemampuan dengan orang lain dengan ucapan atau dengan perbuatan.
4.      Dapat mengembangkan sikap beramal saleh dalam setiap pribadi muslim.

G. Penutup
                  Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia dalam kehidupan, tidak ada satu pun makhluk ciptaan Allah swt yang dapat mencapai kesempurnaan dan kematangan hidup tanpa melalui sesuatu proses. Pendidikan adalah salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk membina dan mengembangkan pribadi muslim dari aspek rohaniah dan jasmaniah.
            Sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, maka manfaat atau kegunaan dari pendidikan Islam akan dapat dirasakan oleh pribadi manusia itu sendiri dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan kemaslahatan bagi sesama manusia dalam hubungan kemasyarakatan sebagaimana firman Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 112 sebagai berikut :
ضربت عليهم الذلةاين ما ثقفواإلابحبل من الله وحبل من النا س........ ( آل عمران :    ) 
Artinya : “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh kepada tali ( agama ) Allah swt dan tali ( perjanjian ) dengan manusia”. (QS. Ali ‘Imran : 112 ). 
            Dalam Islam pendididkan adalah memberikan corak hitam putihnya seseorang, permasalahan pendidikan Islam menjadi tanggung jawab moral bagi setiap pakar muslim untuk membangun teori Islam sebagai paradigma dalam pendidikan.
            Alquran sebagai inspirasi dan wawasan serta pandangan hidup universal, memberikan dorongan motivatif bagi manusia untuk selalu mengembangkan ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan melalui rasio ( akal pikiran ). Dengan ontologi, epistemologi dan aksiologi yang ada dalam pendidikan Islam, diharapkan pendidikan Islam dapat mengantisipasi kebutuhan dan tantangan untuk umat Islam di masa mendatang karena tanpa pendidikan manusia dapat menjadi makhluk yang senatiasa didorong oleh nafsu jahat, ingkar dan kafir kepada Tuhannya.
            Melalui proses pendidikan manusia akan dapat dimanusiakan sebagai hamba Allah swt yang mampu mentaati ajaran agamanya dengan penyerahan diri secara total sebagaimana yang selalu kita ucapkan dalam shalat yaitu :
إن صلا تى ونسكى ومحيا ى ومماتى لله رب العا لمين. ( الأنعام :     )
Artinya : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku dan seluruh hidupku serta matiku semata-mata bagi Allah pendidik seluruh alam “. ( QS. Al-Maidah : 162 )   


DAFTAR PUSTAKA


Alquran dan Terjemahannya, 1996, Departemen Agama RI
Arkoun, Muhammad, 1996, Rethinking Islam, terj. Yudian W dan Latiful khuluq, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar )
Burhani, Ahmad Najib, 2001, Islam Dinamis, Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membantu, ( Jakarta : Buku Kompas )
Djaelani, Abdul Qadir, 1993, Filsafat Islam, ( Semarang : Bina Ilmu )
Hartono, Dic, 1986, Kamus popular filsafat, ( Jakarta : Rajawali Kartanegara )
Kartanegara, Mulyadi, 2002, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam,
( Penerbit : Mizan )
Lubis, Nur Ahmad Fadhil Lubis, 2001, Etika Bisnis, ( Jakarta : Hijri Pustaka Utama )
Naqib Al Attas Syed Muhammad, 1995, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzanmi, ( Bandung : Mizan )
Nasution, Harun, 1974, Islam Ditinjai Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, ( Jakarta : UI- Press)
Nata, Abudin, 1998, Metodologi studi Islam, Cet. 2, ( Jakarta : Raja Grafindo Perkasa )
Salam, Burhanuddin, 1997, Logika Materil, ( Jakarta : Rineka Cipta )
Titus, Smith, Nolan, 1984, Living Issues In Philosophy, terj. H.M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta : Bulan Bintang )
Usman, Suparman, 2001, Hukum Islam, ( Jakarta : Gaya Media Pratama )
Yazdi, Mehdi Hairi, 2003, Efistemologi Iluminasionis Dalam Filsafat Islam, (edisi. I) terj. Asih Muhammad, ( Bandung : Mizan )



[1] Lihat, dic. Hartono, Kamus Popular Filsafat ( Jakarta : Rajawali, 1986 ) hal. 23. Lihat juga Titus, Smith, Nolan, Living Issues In Philosophy, terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1984 ), hal. 509 
[2] Edmund Husserl ( 1859-1938 ), Seorang tokoh filsafat fenomenologi berpendapat bahwa tindakan mengalami objek-objek itu adalah merupakan suatu bentuk pengetahuan, meskipun berbeda dengan pengetahuan methodis ilmiah ( scientif method ). Lihat Mehdi Hairi Yazdi, Efistemologi Iluminasionis Dalam Filsafat Islam, ( edisi I ), Terj. Asih Muhammad ( Penerbit Mizan, Bandung, 2003 ) hal. 37 
[3] Distorsi itu misalnya, dapat kita lihat dari penggunaan kata scien yang dibedakan dengan knowledge, sedangkan kata scien sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Demikian halnya kata ilmu dalam epistemiologi Islam, tidak sama denn\gan pengetahuan biasa saja, tetapi seperti yang diterjemahkan Ibn Hazim ( W. 1064 M ), ilmu dipahami sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Lihat, Mulyadhi katanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, penerbit Mizan, 2002 hal. 57
[4] Suparman Usman, Hukum Islam, ( Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001 ) hal. 12
[5] Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, Terj. Yudian W dan Latiful Khuluq, ( Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996 ) hal. 17
[6] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid I, ( UI- Press, 1974 ), hal. 24 
[7]  Qs. Ali Imran 19, “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam, tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karana kedengkian di antara mereka”. Lihat, Alquran dan terjemahannya, Departemen Agama RI, 1996, hal. 78
[8]  Abudin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Peerkasa, 1998 ) hal. 8
[9]  Mahmud Quraish Shihab, Membumikan Alquran ( Bandung : Mizan, 1992 ) hal. 209-210
[10] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Etika Bisnis ( Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2001 ) hal. 2
[11] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, ( Jakarta : UI-Press, 1974 ) hal.14
[12] Ibid. hal. Hal 15
[13] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Etika bisnis ( Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2001 ) hal.3
[14] H. Burhanuddin Salam, Logika Materil, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1997 ). Hal.12.
[15] Ibid.

[16] Mulyadi Kartanegara, Menembus batas waktu……..hal. 61
[17] Ahmad Najib Burhani, Islam dinamis, menggugat peran agama membongkar doktrin yang membantu, ( Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2001 ), pada pengantar.
[18]  Abdul Qadir Djaelani, Filsafat Islam, ( Bina Ilmu, Semarang, 1993 ) hal. 56-57.
[19] Ali Abdul Azhim, hal. 268
[20] Syed Muhammad Naqib Al Attas, Islam dan filsafat sains, terj. Saiful Muzanmi, ( Penerbit Mizan, Bandung, 1995 ), hal. 53-55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar