Minggu, 13 Mei 2012

KEPERIBADIAN MANUSIA TEORI KOHLBERG


PENDAHULUAN
            Kepribadian merupakan identitas yang ada dalam diri seseorang yang hanya dirinya sendiri yang memiliki itu, dan bukan orang lain, sekalipun saudara kembarnya sebagaimana pernah terjadi dalam kisah fenomenal Chang dan Eng yang lahir pada tahun 1811, dua bersaudara dari Siam (sekarang Thailand) yang mempopulerkan istilah “kembar siam”. Mereka memiliki tubuh yang menyatu, namun mereka memiliki reaksi yang berbeda. Chang lebih mudah stress, sedangkan Eng sangat suka membaca. Mereka memiliki kesamaan dalam fisik, namun dalam kepribadian mereka beda.[1
Studi Psikologi Kepribadian merupakan studi lama yang telah dilakukan oleh para ahli, dan melahirkan banyak teori yang banyak kita jumpai dalam kajian psikologi kepribadian itu sendiri. Hal ini didasarkan pada bermacam-macam kategori yang digunakan untuk penggolongan-penggolongan itu. Dan dalam mengkaji kepribadian itu dengan pendekatan yang berbeda.[2] Sebagian psikolog berpendapat bahwa kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh perkembangan moral, termasuk Kohlberg yang mengusung psikologi kognitif dengan meninjau kepribadian manusia dan perkembangan moral, sehingga dapat dilihat bagaimana prilaku seseorang dalam kondisi sosialnya.
            Maka dalam makalah ini akan diuraikan tentang Teori kepribadian manusia menurut Kohlberg, semoga dapat menambah khazanah keilmuan kita.






PEMBAHASAN
Kepribadian Manusia Menurut Kohlberg
A.    Biografi Kohlberg

Nama Lengkapnya adalah Lawrence Kohlberg, ia dilahirkan di Bronxville, New York, Amerika Serikat, 25 Oktober 1927 dan meninggal pada 19 Januari 1987 dalam usia 59 tahun. Ia menjabat sebagai profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral. Kohlberg merupakan pengikut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg.
Kohlberg dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya. Ia menjalani pendidikan di Akademi Phillips, sebuah SMA swasta yang terkenal di New York. Pada Perang Dunia II, setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, ia mendaftar sebagai ahli mesin di sebuah kapal perang. Di kapal itu, ia dan teman-temannya sekapal memutuskan untuk membantu orang-orang Yahudi yang berusaha melarikan diri dari Eropa ke Palestina.[3]
Setelah dinasnya dalam perang, ia mendaftar ke Universitas Chicago pada 1948. Hasil ujian masuknya sangat tinggi, dan ia memperoleh gelar sarjana dalam psikologi dalam waktu hanya satu tahun. Kohlberg terus bertahan di Universitas Chicago untuk melanjutkan ke program pasca-sarjana, dan tertarik pada penalaran moral anak-anak dan karya-karya awal Jean Piaget dan yang lain-lainnya. Ia menulis disertasi doktoralnya di sana pada tahun 1958. yang memberikan kerangka dari apa yang kini dikenal sebagai tahap perkembangan moral Kohlberg.
Kohlberg kemudian mengajar pada 1962 di Universitas Chicago di Komite tentang Perkembangan Manusia, dan memperpanjang masa tinggalnya dengan dunia pendidikan. Pada 1968, dalam usia 40 tahun dan menikah serta dikarunia dua orang anak, ia menjadi profesor pendidikan dan psikologi sosial di Universitas Harvard. Sementara di Harvard, ia berjumpa dengan Carol Gilligan, yang belakangan menjadi koleganya dan kritik terhadap teori perkembangan moralnya.
Dalam sebuah kunjungan ke Israel pada 1969, Kohlberg berkunjung ke sebuah kibbutz dan mengamati betapa perkembangan moral orang-orang muda saat itu jauh lebih berkembang dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi bagian dari kibbutz. Ia memutuskan untuk memikirkan ulang penelitiannya saat itu dan memulai sebuah sekolah baru yang dinamai Sekolah Cluster di dalam SMA Cambridge Rindge and Latin. Sekolah Cluster dikelola sebagai sebuah 'komunitas yang adil' di mana siswa-siswanya mempunyai hubungan dasar dan yang layak dipercaya dengan sesamanya, dengan menggunakan demokrasi dalam pengambilan semua keputusan di sekolah itu. Dilengkapi dengan model ini, ia memulai ‘komunitas yang adil’ yang sama di sekolah-sekolah yang lain, bahkan juga satu di penjara.
Kohlberg tertular sebuah penyakit tropis pada 1971 ketika ia melakukan pekerjaan lintas budaya di Belize. Akibatnya, ia bergumul dengan depresi dan penderitaan fisik selama 16 tahun kemudian. Pada 19 Januari 1987, ia meminta cuti satu hari dari Rumah Sakit Massachusetts tempat ia dirawat, lalu pergi dengan mobilnya ke pantai, dan kemudian bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di Samudera Atlantik. Umurnya 59 tahun ketika ia meninggal dunia.[4]
B.     Kepribadian Manusia Menurut Kohlberg
Studi tentang kepribadian yang dilakukan oleh Kohlberg yang merupakan perpanjangan dan modifikasi dari apa yang dilakukan oleh piaget. menurut kohlberg Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Kohlberg berpendapat bahwa pemikiran seorang anak ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan disisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif secara aktif. Dalam intraksi sosial dengan teman-teman sepermainan. Sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.[5]
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap dan prilaku egosintrisme Seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-nak yang masih diliputi sikap dan perilaku mementingkan dirinya sendiri itu hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan.
Teori perkembangan moral Kohlberg dipengaruhi oleh tradisi formal dan filsafat dan tradisi strukturalis dalam psikologi, sehingga ia memusatkan pada hirarki perkembangan moral, yang mana penalaran moral individu dapat digolongkan dalam tahap-tahap menurut pemecahan mereka terhadap dilemma moral yuang diajukan. Salah satu kelebihan teori perkembangan moral dari Kohlberg adalah tahapan-tahapan perkembangan itu sendiri yang memudahkan orang dalam memahami perkembangan moral. Adanya tahapan-tahapan tersebut juga memudahkan orang untuk membuat perkiraan tentang perkembangan moral seseorang.[6]
Menurut Kohlberg sebagaimana dikutip oleh T. Lickona, tingkat dan tahapan perkembangan moral itu mempunyai cirri, diantaranya adalah:
1.      Tingkatan yang bersifat hirarchial integrations. Apabila seseorang individu didapati berada disatu tingkat yang lebih tinggi, ini bermakna bahwa ia telah melalui peringkat-peringkat moral yang lebih rendah.
2.      Tingkatan yang bersifat structured wholes karena ia merupakan sistem pemikiran yang berkelanjutan. Cara seseorang menganalisis dan menginterpretasikan data serta membuat keputusan mengenai masalah moral dan pribadi merupakan perkara yang sangat penting dalam perkembangan moral secara keseluruhan.
3.      Urutan dalam tingkatan itu adalah tidak varian, yaitu pergerakan dalam tingkatan perkembangan moral selalu kedepan dan tidak pernah mundur.[7]
Kohlberg sebagai penerus piaget menemukan tiga tingkat perkembangan moral yang dilalui oleh manusia, masing-masing tingkat memiliki dua tahap.[8] Adapun tingkat  perkembangan moral tersebut adalah Tingkat Pra-Konvensional, Konvensional dan Pasca Konvensional.
1.      Tingkat Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak (usia 4-10 tahun). Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang besifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional adalah semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain. perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2.      Tingkat Konvensional
Tingkat Konvensional (Contional Role Conformity) umumnya ada pada kalangan remaja (usia 10-13 tahun). Pada tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik. untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosialnya. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; “mereka bermaksud baik” mereka bukan lagi menghindari hukuman, namun agar memperoleh persetujuan orang dewasa.
Dalam tahap empat, adalah memperhatikan hukum dan peraturan. Anak dan remaja memiliki sikaf pasti terhadap wewenang dan aturan dan hukum harus ditaati oleh semua orang. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara moralia salah, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3.      Tingkat Pasca Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip (pada usia 13 tahun keatas). Pada tingkat ini moral diterima demi dirinya sendiri (Self Accepted Moral Principle).. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolute. memang anda siapa membuat keputusan. kalau yang lain tidak? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku yang dibuat individu. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan bagi orang banyak. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas dan kompromi. Maka pemerintahan yang demokratis tampak dalam tahap ini.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil, seseorang bertindak karena hal itu benar. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.

Tabel Perkembangan Moral Kohlberg
Tingkat
Tahap
Konsep Moral


Tingkat I
Moralitas prakonvensional     (usia 4-10 tahun)


1.    Anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut.
2.    Perilaku baik dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman


Tahap 1: memperhatikan ketaatan dan hukum
Tahap 2: memperhatikan pemuasan kebutuhan
1.    Perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.

Tingkat II
Moralitas Konvensional   (Usia 10-13 tahun)

1.    Anak dan remaja berprilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
2.    Perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi, ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.
Tahap 3: memperhatikan citra “anak baik”
Tahap 4: memperhatikan hukum dan peraturan
1.    Anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan.
2.    Hukum harus ditaati oleh semua orang.

Tingkat III
Moralitas pasca konvensional (usia 13 tahun ke atas).

1.    Remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial.
2.    Perubahan hokum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
3.    Pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alas an-alasan tertentu.
Tahap 5: memperhatikan hak perseorangan.
Tahap 6: memperhatikan prinsip-prinsip etika
1.    Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral pribadi yang bersumber dari hokum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.
2.    Keyakinan terhadap moral dan pribadi dan nilai-nilai tetap melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hokum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial. Contoh: seorang suami yang tak beruang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia itu merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
Secara praktis dengan adanya tahap-tahap perkembangan memudahkan orang untuk memberikan stimulasi yang tepat untuk meningkatkan penalaran seorang anak. Teori Kohlberg merupakan sebuah teori perkembangan kognitif klasik, yang memberikan catatan tentang sifat yang integrated. Beberapa penelitian yang mendukung teori Kohlberg tersebut diatas adalah antara lain penelitian Kohlberg sendiri yang menemukan bahwa dengan meningkatnya usia, maka subjek juga cenderung mencapai penalaran moral yang lebih tinggi.[9]
Selain daripada itu, teori yang dikemukakan Kohlberg tentang perkembangan moral bukan didasarkan pada perkembangan kognitif, bukan tanpa kritik. Gibbs sebagaimana dikutip Papalia menyebutkan bahwa pendekatan kognitif terhadap penalaran moral kurang memberi perhatian pada nilai penting emosi. Aktivitas moral tidak hanya dimotivasi oleh pertimbangan abstrak seperti keadilan, tetapi juga oleh emosi seperti rasa empati, rasa bersalah, rasa sedih, dan internalisasi norma proporsional.[10]

Selain hal tersebut diatas, yang menjadi tema penting yang merupakan kritik keras terhadap teori perkembangan moral Kohlberg adalah Pemikiran moral dan perilaku moral. Teori Kohlberg dikritik karena terlalu banyak penekanan pada penalaran moral dan kurang memberi penekanan terhadap perilaku moral. Penalaran moral terkadang dapat menjadi justifikasi dan perlindungan bagi perilaku immoral. Penipu, koruptor dan pencuri mungkin mengetahui apa yang benar, tetapi masih melakukan apa yang salah.
Menurut Gilligan, Kohlberg juga dipandang kurang memperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan moral. Dia percaya bahwa hal ini mungkin terjadi karena Kohlberg seorang laki-laki, karena kebanyakan penelitiannya adalah dengan laki-laki daripada dengan perempuan, dank arena ia menggunakan renspons laki-laki sebagai suatu model bagi teorinya.[11]
C.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa teori kepribadian manusia menurut Kohlberg erat kaitannya dengan perkembangan moral kognitif, mulai anak-anak sampai dewasa.
Inti dari teori Kohlberg tersebut adalah tiga tingkat perkembangan moral yaitu Tingkat Pra-Konvensional, Tingkat Konvensional dan Pasca-Konvensional dan didalamnya ada enam tahapan-tahapan. Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral manusia yang selalu berubah sesuai dengan tingkat usianya. Semakin tinggi usia seseorang, kemungkinan akan semakin tinggi penalaran moralnya.




REFERENSI
Crapss, Robert W.  Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta: Kanisius, 2000
Durkin, Kevin, Developmental Social Psychology, Massachussetts: Blackweell Pubhlisher Inc, 1995
Friedman, Howard S. Miriam W. Schustack, Kepribadian, Teori Klasik dan Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006
Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Papalia, Diane E. et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar, Jakarta: Kencana, 2008
R.  L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York: Praeger Publisher, 1980
Suryabrata, Sumardi, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008
T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976
http://faculty.plts.edu/gpence/html/kohlberg.htm.











[1]Howard S. Friedman, Miriam W. Schustack, Kepribadian, Teori Klasik dan Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006, h. 1
[2] Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, h. 3
[5] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. h. 75
[6] R.C. Sprinthall, Educational Psychology: A developmental Approach, Boston: Mc Graw-Hill Company, 1995, h. 67-68
[7] T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976, h. 31-35
[8] Robert W. Crapss,  Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta: Kanisius, 2000, h. 123
[9] Kevin Durkin, Developmental Social Psychology, Massachussetts: Blackweell Pubhlisher Inc, 1995, h. 76
[10] Diane E. Papalia, et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar, Jakarta: Kencana, 2008, h. 566
[11] R.  L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York: Praeger Publisher, 1980, h. 70
PENDAHULUAN
            Kepribadian merupakan identitas yang ada dalam diri seseorang yang hanya dirinya sendiri yang memiliki itu, dan bukan orang lain, sekalipun saudara kembarnya sebagaimana pernah terjadi dalam kisah fenomenal Chang dan Eng yang lahir pada tahun 1811, dua bersaudara dari Siam (sekarang Thailand) yang mempopulerkan istilah “kembar siam”. Mereka memiliki tubuh yang menyatu, namun mereka memiliki reaksi yang berbeda. Chang lebih mudah stress, sedangkan Eng sangat suka membaca. Mereka memiliki kesamaan dalam fisik, namun dalam kepribadian mereka beda.[1]
Studi Psikologi Kepribadian merupakan studi lama yang telah dilakukan oleh para ahli, dan melahirkan banyak teori yang banyak kita jumpai dalam kajian psikologi kepribadian itu sendiri. Hal ini didasarkan pada bermacam-macam kategori yang digunakan untuk penggolongan-penggolongan itu. Dan dalam mengkaji kepribadian itu dengan pendekatan yang berbeda.[2] Sebagian psikolog berpendapat bahwa kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh perkembangan moral, termasuk Kohlberg yang mengusung psikologi kognitif dengan meninjau kepribadian manusia dan perkembangan moral, sehingga dapat dilihat bagaimana prilaku seseorang dalam kondisi sosialnya.
            Maka dalam makalah ini akan diuraikan tentang Teori kepribadian manusia menurut Kohlberg, semoga dapat menambah khazanah keilmuan kita.






PEMBAHASAN
Kepribadian Manusia Menurut Kohlberg
A.    Biografi Kohlberg

Nama Lengkapnya adalah Lawrence Kohlberg, ia dilahirkan di Bronxville, New York, Amerika Serikat, 25 Oktober 1927 dan meninggal pada 19 Januari 1987 dalam usia 59 tahun. Ia menjabat sebagai profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral. Kohlberg merupakan pengikut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg.
Kohlberg dilahirkan dalam sebuah keluarga kaya. Ia menjalani pendidikan di Akademi Phillips, sebuah SMA swasta yang terkenal di New York. Pada Perang Dunia II, setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, ia mendaftar sebagai ahli mesin di sebuah kapal perang. Di kapal itu, ia dan teman-temannya sekapal memutuskan untuk membantu orang-orang Yahudi yang berusaha melarikan diri dari Eropa ke Palestina.[3]
Setelah dinasnya dalam perang, ia mendaftar ke Universitas Chicago pada 1948. Hasil ujian masuknya sangat tinggi, dan ia memperoleh gelar sarjana dalam psikologi dalam waktu hanya satu tahun. Kohlberg terus bertahan di Universitas Chicago untuk melanjutkan ke program pasca-sarjana, dan tertarik pada penalaran moral anak-anak dan karya-karya awal Jean Piaget dan yang lain-lainnya. Ia menulis disertasi doktoralnya di sana pada tahun 1958. yang memberikan kerangka dari apa yang kini dikenal sebagai tahap perkembangan moral Kohlberg.
Kohlberg kemudian mengajar pada 1962 di Universitas Chicago di Komite tentang Perkembangan Manusia, dan memperpanjang masa tinggalnya dengan dunia pendidikan. Pada 1968, dalam usia 40 tahun dan menikah serta dikarunia dua orang anak, ia menjadi profesor pendidikan dan psikologi sosial di Universitas Harvard. Sementara di Harvard, ia berjumpa dengan Carol Gilligan, yang belakangan menjadi koleganya dan kritik terhadap teori perkembangan moralnya.
Dalam sebuah kunjungan ke Israel pada 1969, Kohlberg berkunjung ke sebuah kibbutz dan mengamati betapa perkembangan moral orang-orang muda saat itu jauh lebih berkembang dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi bagian dari kibbutz. Ia memutuskan untuk memikirkan ulang penelitiannya saat itu dan memulai sebuah sekolah baru yang dinamai Sekolah Cluster di dalam SMA Cambridge Rindge and Latin. Sekolah Cluster dikelola sebagai sebuah 'komunitas yang adil' di mana siswa-siswanya mempunyai hubungan dasar dan yang layak dipercaya dengan sesamanya, dengan menggunakan demokrasi dalam pengambilan semua keputusan di sekolah itu. Dilengkapi dengan model ini, ia memulai ‘komunitas yang adil’ yang sama di sekolah-sekolah yang lain, bahkan juga satu di penjara.
Kohlberg tertular sebuah penyakit tropis pada 1971 ketika ia melakukan pekerjaan lintas budaya di Belize. Akibatnya, ia bergumul dengan depresi dan penderitaan fisik selama 16 tahun kemudian. Pada 19 Januari 1987, ia meminta cuti satu hari dari Rumah Sakit Massachusetts tempat ia dirawat, lalu pergi dengan mobilnya ke pantai, dan kemudian bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di Samudera Atlantik. Umurnya 59 tahun ketika ia meninggal dunia.[4]
B.     Kepribadian Manusia Menurut Kohlberg
Studi tentang kepribadian yang dilakukan oleh Kohlberg yang merupakan perpanjangan dan modifikasi dari apa yang dilakukan oleh piaget. menurut kohlberg Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Kohlberg berpendapat bahwa pemikiran seorang anak ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan disisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif secara aktif. Dalam intraksi sosial dengan teman-teman sepermainan. Sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya.[5]
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap dan prilaku egosintrisme Seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-nak yang masih diliputi sikap dan perilaku mementingkan dirinya sendiri itu hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan.
Teori perkembangan moral Kohlberg dipengaruhi oleh tradisi formal dan filsafat dan tradisi strukturalis dalam psikologi, sehingga ia memusatkan pada hirarki perkembangan moral, yang mana penalaran moral individu dapat digolongkan dalam tahap-tahap menurut pemecahan mereka terhadap dilemma moral yuang diajukan. Salah satu kelebihan teori perkembangan moral dari Kohlberg adalah tahapan-tahapan perkembangan itu sendiri yang memudahkan orang dalam memahami perkembangan moral. Adanya tahapan-tahapan tersebut juga memudahkan orang untuk membuat perkiraan tentang perkembangan moral seseorang.[6]
Menurut Kohlberg sebagaimana dikutip oleh T. Lickona, tingkat dan tahapan perkembangan moral itu mempunyai cirri, diantaranya adalah:
1.      Tingkatan yang bersifat hirarchial integrations. Apabila seseorang individu didapati berada disatu tingkat yang lebih tinggi, ini bermakna bahwa ia telah melalui peringkat-peringkat moral yang lebih rendah.
2.      Tingkatan yang bersifat structured wholes karena ia merupakan sistem pemikiran yang berkelanjutan. Cara seseorang menganalisis dan menginterpretasikan data serta membuat keputusan mengenai masalah moral dan pribadi merupakan perkara yang sangat penting dalam perkembangan moral secara keseluruhan.
3.      Urutan dalam tingkatan itu adalah tidak varian, yaitu pergerakan dalam tingkatan perkembangan moral selalu kedepan dan tidak pernah mundur.[7]
Kohlberg sebagai penerus piaget menemukan tiga tingkat perkembangan moral yang dilalui oleh manusia, masing-masing tingkat memiliki dua tahap.[8] Adapun tingkat  perkembangan moral tersebut adalah Tingkat Pra-Konvensional, Konvensional dan Pasca Konvensional.
1.      Tingkat Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak (usia 4-10 tahun). Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang besifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional adalah semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain. perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2.      Tingkat Konvensional
Tingkat Konvensional (Contional Role Conformity) umumnya ada pada kalangan remaja (usia 10-13 tahun). Pada tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik. untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosialnya. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; “mereka bermaksud baik” mereka bukan lagi menghindari hukuman, namun agar memperoleh persetujuan orang dewasa.
Dalam tahap empat, adalah memperhatikan hukum dan peraturan. Anak dan remaja memiliki sikaf pasti terhadap wewenang dan aturan dan hukum harus ditaati oleh semua orang. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara moralia salah, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3.      Tingkat Pasca Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip (pada usia 13 tahun keatas). Pada tingkat ini moral diterima demi dirinya sendiri (Self Accepted Moral Principle).. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolute. memang anda siapa membuat keputusan. kalau yang lain tidak? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku yang dibuat individu. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan bagi orang banyak. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas dan kompromi. Maka pemerintahan yang demokratis tampak dalam tahap ini.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil, seseorang bertindak karena hal itu benar. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.

Tabel Perkembangan Moral Kohlberg
Tingkat
Tahap
Konsep Moral


Tingkat I
Moralitas prakonvensional     (usia 4-10 tahun)


1.    Anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut.
2.    Perilaku baik dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman


Tahap 1: memperhatikan ketaatan dan hukum
Tahap 2: memperhatikan pemuasan kebutuhan
1.    Perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.

Tingkat II
Moralitas Konvensional   (Usia 10-13 tahun)

1.    Anak dan remaja berprilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman.
2.    Perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi, ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.
Tahap 3: memperhatikan citra “anak baik”
Tahap 4: memperhatikan hukum dan peraturan
1.    Anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan.
2.    Hukum harus ditaati oleh semua orang.

Tingkat III
Moralitas pasca konvensional (usia 13 tahun ke atas).

1.    Remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial.
2.    Perubahan hokum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik.
3.    Pelanggaran hukum dan aturan dapat terjadi karena alas an-alasan tertentu.
Tahap 5: memperhatikan hak perseorangan.
Tahap 6: memperhatikan prinsip-prinsip etika
1.    Keputusan mengenai perilaku-perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prinsip moral pribadi yang bersumber dari hokum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.
2.    Keyakinan terhadap moral dan pribadi dan nilai-nilai tetap melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hokum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial. Contoh: seorang suami yang tak beruang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia itu merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
Secara praktis dengan adanya tahap-tahap perkembangan memudahkan orang untuk memberikan stimulasi yang tepat untuk meningkatkan penalaran seorang anak. Teori Kohlberg merupakan sebuah teori perkembangan kognitif klasik, yang memberikan catatan tentang sifat yang integrated. Beberapa penelitian yang mendukung teori Kohlberg tersebut diatas adalah antara lain penelitian Kohlberg sendiri yang menemukan bahwa dengan meningkatnya usia, maka subjek juga cenderung mencapai penalaran moral yang lebih tinggi.[9]
Selain daripada itu, teori yang dikemukakan Kohlberg tentang perkembangan moral bukan didasarkan pada perkembangan kognitif, bukan tanpa kritik. Gibbs sebagaimana dikutip Papalia menyebutkan bahwa pendekatan kognitif terhadap penalaran moral kurang memberi perhatian pada nilai penting emosi. Aktivitas moral tidak hanya dimotivasi oleh pertimbangan abstrak seperti keadilan, tetapi juga oleh emosi seperti rasa empati, rasa bersalah, rasa sedih, dan internalisasi norma proporsional.[10]

Selain hal tersebut diatas, yang menjadi tema penting yang merupakan kritik keras terhadap teori perkembangan moral Kohlberg adalah Pemikiran moral dan perilaku moral. Teori Kohlberg dikritik karena terlalu banyak penekanan pada penalaran moral dan kurang memberi penekanan terhadap perilaku moral. Penalaran moral terkadang dapat menjadi justifikasi dan perlindungan bagi perilaku immoral. Penipu, koruptor dan pencuri mungkin mengetahui apa yang benar, tetapi masih melakukan apa yang salah.
Menurut Gilligan, Kohlberg juga dipandang kurang memperhatikan perspektif kepedulian dalam perkembangan moral. Dia percaya bahwa hal ini mungkin terjadi karena Kohlberg seorang laki-laki, karena kebanyakan penelitiannya adalah dengan laki-laki daripada dengan perempuan, dank arena ia menggunakan renspons laki-laki sebagai suatu model bagi teorinya.[11]
C.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa teori kepribadian manusia menurut Kohlberg erat kaitannya dengan perkembangan moral kognitif, mulai anak-anak sampai dewasa.
Inti dari teori Kohlberg tersebut adalah tiga tingkat perkembangan moral yaitu Tingkat Pra-Konvensional, Tingkat Konvensional dan Pasca-Konvensional dan didalamnya ada enam tahapan-tahapan. Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral manusia yang selalu berubah sesuai dengan tingkat usianya. Semakin tinggi usia seseorang, kemungkinan akan semakin tinggi penalaran moralnya.




REFERENSI
Crapss, Robert W.  Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta: Kanisius, 2000
Durkin, Kevin, Developmental Social Psychology, Massachussetts: Blackweell Pubhlisher Inc, 1995
Friedman, Howard S. Miriam W. Schustack, Kepribadian, Teori Klasik dan Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006
Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Papalia, Diane E. et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar, Jakarta: Kencana, 2008
R.  L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York: Praeger Publisher, 1980
Suryabrata, Sumardi, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008
T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976
http://faculty.plts.edu/gpence/html/kohlberg.htm.











[1]Howard S. Friedman, Miriam W. Schustack, Kepribadian, Teori Klasik dan Riset Modern, Jilid III, Jakarta: Erlangga, 2006, h. 1
[2] Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, h. 3
[5] Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. h. 75
[6] R.C. Sprinthall, Educational Psychology: A developmental Approach, Boston: Mc Graw-Hill Company, 1995, h. 67-68
[7] T. Lickona (ed), Moral Development: Theory, research and Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976, h. 31-35
[8] Robert W. Crapss,  Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta: Kanisius, 2000, h. 123
[9] Kevin Durkin, Developmental Social Psychology, Massachussetts: Blackweell Pubhlisher Inc, 1995, h. 76
[10] Diane E. Papalia, et. al. Human Development, Psikologi Perkembangan, (terj), A. K. Anwar, Jakarta: Kencana, 2008, h. 566
[11] R.  L. Moshers, Moral Education: A First Generation of and Development, New York: Praeger Publisher, 1980, h. 70